GELORA.CO - Indonesia terus-menerus mendapatkan pukulan keras. Mulai dari kasus Jiwasraya, suap komisioner KPU Wahyu Setiawan (WS), hingga dugaan megakorupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Ketiganya sama-sama kasus besar. Dua kasus di antaranya berhadapan dengan nilai angka yang luar biasa fantastis. Satu lagi berhadapan dengan besarnya nilai kredibilitas elite politik dan lembaga negara (KPK).
Sayangnya, dikatakan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen, munculnya kasus WS di tengah dua kasus lainnya cukup mengherankan.
Pasalnya, menurut Silaen, isu mengenai suap WS justru lebih terdengar dibanding dua kasus lain yang nilainya luar biasa merugikan negara dibanding kasus WS.
Dalam kasus WS sendiri yang diincar tidak lain adalah Sekjen Partai Banteng Moncong Putih, Hasto Kristiyanto yang diyakini terlibat dalam proses suap-menyuap pergantian antar waktu (PAW) di Sumatera Selatan.
Namun, perlu diketahui juga bahwa PDI Perjuangan sendiri adalah "pemegang kontrol" Jaksa Agung dengan didudukannya ST Burhanuddin yang saat ini menangani dua kasus asuransi tersebut.
Bisa jadi kebetulan, namun bisa jadi juga sebuah permainan politik. Mungkin saja Jiwasraya dan Asabri yang bila dijumlahkan kerugiannya mencapai sekitar Rp 23 Triliun itu melibatkan banyak "pemain lama". Alhasil, ini hanyalah pertarungan para elite politik.
"Disini begitu banyak orang (pihak-pihak) yang sedang ketar-ketir. Salah-salah jadi korbannya," tukas Silaen.
Jika memang begitu, maka persoalannya rumit dan akan semakin rumit. Lantaran setiap "pemain" tampaknya memiliki kartu truf-nya masing-masing, yang tentu berasal dari titik lemah dan dosa masa lalu.
Namun kalau sudah seperti ini, terlihat yang dirugikan (lagi-lagi) adalah rakyat.
"Ini persis peribahasa gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah, yang menjadi korban adalah orang kecil, "ungkap Silaen kepada wartawan di Jakarta, Minggu (12/1).(*)