GELORA.CO - Merespons perkembangan situasi di Perairan Natuna, Pemerintah Republik Rakyat China sempat menyampaikan pernyataan galak bahwa kawasan itu adalah haknya. Kini China lebih kalem menjelaskan soal isu terkait Indonesia itu.
Adalah Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, yang secara reguler memberi pernyataan pers yang disiarkan situs Kemlu China. Pernyataan Geng pada pekan lalu terdengar galak. Intinya, apakah Indonesia terima atau tidak yang jelas China punya hak di Perairan Natuna. Tentu saja Geng tidak menggunakan istilah 'Perairan Natuna' karena itu adalah istilah Indonesia.
"Saya ingin menegaskan bahwa posisi dan dalil-dalil China mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS. Jadi apakah pihak Indonesia menerima atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa China punya hak dan kepentingan di perairan terkait (relevant waters). Yang disebut sebagai keputusan arbitrase Laut China Selatan itu ilegal dan tidak berkekuatan hukum, dan kami telah lama menjelaskan bahwa China tidak menerima atau mengakui itu," kata Geng dalam keterangan persnya, Kamis (2/1) lalu.
China menggunakan dasar historis 9 Garis Putus-putus (Nine Dash Line) yang merentang sampai Natuna. Baik China maupun Indonesia sama-sama mengaku berpijak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Ada satu lagi dasar hukum, yakni putusan pengadilan internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) tentang Laut China Selatan pada 2016 yang menyatakan klaim 9 Garis Putus-putus sebagai batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu itu tidak mempunyai dasar historis, namun putusan PCA tahun 2016 yang dihasilkan dari sengketa dengan Filipina itu tak diakui China.
"Pihak China secara tegas menentang negara mana pun, organisasi, atau individu yang menggunakan arbitrase tidak sah untuk merugikan kepentingan China," kata Geng.
Selanjutnya, pada Selasa (7/1), Geng menyampaikan pernyataan yang tidak sekeras lima hari sebelumnya. Dia merespons pertanyaan perihal 70 tahun hubungan diplomatik China dan Indonesia yang terjalin sejak 13 April 1950.
"Kami berdua sangat mementingkan hal ini dan setuju untuk menggelar serangkaian kegiatan perayaan untuk mempromosikan pertukaran dan kerja sama, membawa hubungan bilateral ke level yang lebih tinggi dan menyuntikkan energi positif ke dalam kedua negara dan kawasan," kata Geng Shuang dalam keterangan pers tertulis, dilansir situs Kementerian Luar Negeri China, Selasa (7/1).
Dalam pernyataan pers bergaya tanya-jawab itu, Geng juga merespons perihal rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengerahkan para nelayan dengan kawalan keamanan di Natuna. Langkah pemerintah Indonesia itu ditanggapi Geng dengan penjelasan soal hubungan baik RRC-RI. Geng menyatakan persahabatan dan kerja sama adalah arus utama hubungan China-Indonesia, sedangkan perbedaan antara RRC-RI semata-mata merupakan satu cabang saja. Semuanya punya tanggung jawab menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.
"Seperti yang saya bilang, soal perkembangan maritim baru-baru ini, China dan Indonesia telah menjalin komunikasi satu sama lain lewat saluran diplomatik. China dan Indonesia adalah mitra strategis yang komprehensif," kata Geng Shuang, dilansir situs Kemlu China.
Menurutnya, tahun ini adalah momen penting pembangunan nasional kedua negara. Kedua negara telah menjalin kerja sama yang baik. Geng kemudian menyebut proyek China bernama Belt and Road Initiative (BRI). Komunikasi tingkat tinggi dinilainya punya peran penting dalam hubungan diplomatik China-Indonesia.
Jubir Menlu China, Geng Shuang (Situs Kemlu RRC)
|
Yang terbaru, Geng menyampaikan pernyataannya pada Rabu (8/1). Dia merespons perkembangan terbaru di Natuna, yakni TNI telah mengerahkan jet tempur dan kapal perang ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia itu. Geng berharap Indonesia untuk kalem.
"China berharap Indonesia akan tetap tenang," kata Geng.
Kini Geng menjelaskan bahwa hubungan China-Indonesia baik-baik saja. Tak ada perselisihan wilayah kedaulatan dengan Indonesia di perairan Natuna. Meski demikian, China mengakui ada tumpang tindih mengenai hak di kawasan ini.
"Saya ingin menekankan bahwa China dan Indonesia tidak punya sengketa soal kedaulatan teritorial. Kami punya klaim yang tumpang tindih soal hak maritim dan kepentingan pada beberapa area di Laut China Selatan," kata Geng.
Kata Geng, China berdaulat atas Kepulauan Nansha (Kepulauan Spratly) dan punya hak berdaulat serta yurisdiksi di laut sekitarnya. China menyatakan ini sudah sesuai hukum internasional. Ini dikatakan Geng untuk menjawab pertanyaan soal apakah China tidak punya klaim teritorial atas Natuna.
Hak berdaulat suatu negara meliputi ZEE dan landas kontinen, jaraknya 200 mil laut dari garis pangkal. Lebih dekat lagi ke wilayah negara, ada yang namanya wilayah kedaulatan, meliputi Laut Teritorial yang jaraknya 12 mil laut dari garis pangkal.
Sebagaimana diketahui, kapal pencari ikan dan coast guard China masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Itulah yang membuat ketegangan di Natuna meningkat.[dtk]