2020: (Bukan) Sakaratul Maut Pemberantasan Korupsi?

2020: (Bukan) Sakaratul Maut Pemberantasan Korupsi?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Jemmy Setiawan
BERBAGAI kelompok masyarakat sipil memberikan predikat buruk pada upaya pemberantasan korupsi di tahun 2019. Ada yang menyebutnya sebagai tahun kelam, titik nadir, maupun puncak pelemahan pemberantasan korupsi.

Indikatornya sangat jelas; revisi atas UU KPK yang dianggap melemahkan taji lembaga tersebut. Kemudian, profil komisioner-komisioner KPK yang dianggap kurang ideal, khususnya dengan kemunculan perwira tinggi polisi aktif sebagai Ketua.

Tak ketinggalan, pengingkaran Presiden atas janji untuk menerbitkan Perpres KPK sebagai respon atas gelombang unjukrasa, yang dinilai mengkhianati aspirasi mahasiswa dan publik.

KPK menurut berbagai survei selalu menempati posisi teratas institusi yang paling dipercaya oleh masyarakat. Kepercayaan tersebut tumbuh seiring dengan kinerjanya yang dianggap bagus.

KPK sejak tahun pendiriannya hingga sebelum dilemahkan dinilai mewakili harapan masyarakat atas penyelenggaraan negara yang bersih dan jujur. Harapan tersebut pernah terjawab penuh, misalnya, ketika KPK tanpa pandang bulu menggulung kasus korupsi Wisma Atlet maupun kasus-kasus high profile lain di era sebelum Joko Widodo.

Kebetulan, waktu itu, pemerintah memiliki komitmen penuh untuk mendukung KPK tanpa merasa harus membela diri jika ada unsur-unsur internalnya yang keliru.

Harapan publik yang terus membuncah itu harus dihentikan di penghujung era Presiden Joko Widodo periode pertama. Sepak terjang KPK dianggap mulai merepotkan para pemegang kunci-kunci kekuasaan.

Berbagai narasi yang menunjang pelemahan KPK pun dibangun oleh mereka yang merasa kepentingannya terganggu. Misalnya saja, narasi bahwa pemberantasan korupsi dengan cara operasi tangkap tangan (OTT) mengganggu investasi atau membahayakan pembangunan. Narasi-narasi semacam itu menjadi legitimasi pelemahan KPK melalui revisi UU KPK.

Febridiansyah, jurubicara KPK yang belum lama diganti, mencatat ada 26 poin pelemahan KPK dalam UU KPK 2019. Mulai dari pelemahan independensi yang terkait perubahan status kepegawaian, pemindahan penanggungjawab lembaga ke tangan Dewan Pengawas, serta Dewan Pengawas yang diberi wewenang teknis hingga penyadapan.

Standar etik Dewan pengawas pun dibuat longgar, seperti diperbolehkan nya mereka merangkap jabatan di BUMN, serta diijinkan menemui orang yang sedang menjadi tersangka atau ‘bermasalah’. Poin-poin lain yang dinilai mengecewakan, seperti ‘terbukanya’ posisi Dewan Pengawas untuk aparat penegak hukum, serta pemangkasan kewenangan penyidikan dan penyadapan.

Sebagian kalangan sempat membuka sedikit asa manakala melihat profil lima anggota Dewan Pengawas yang ditunjuk Presiden. Tetapi, revisi UU KPK bukanlah soal Dewas semata. Apalah artinya individu-individu itu dibandingkan berbagai instrumen sistemik yang menyusutkan kewenangan menyidik dan menyadap?

Apalagi, rekam jejak para pimpinan KPK yang baru yang dianggap kurang mencerminkan itikad kuat pemberantasan korupsi. Walhasil, secercah asa itu ditenggelamkan oleh bandul pesimisme. Dalam sorotan yang kurang menggembirakan itu, cilakanya, KPK tidak merespon menyeruaknya kasus dugaan korupsi Jiwasraya sebagaimana diharapkan publik.

Kasus yang seharusnya dapat menjadi quick win kepemimpinan KPK yang baru, justru direspon dengan pernyataan bernada ‘menghindar’ oleh salah satu pimpinan lembaga itu: “Kami cukup memantau perkembangannya saja”. Sungguh mengecewakan. Tak ayal, para pegiat anti korupsi dihantui ketakutan bahwa KPK sesungguhnya sedang menjemput ajal.

Secara fisik, mungkin lembaga yang diidolakan masyarakat itu masih ada, tetapi jiwa dan ruhnya sedang menuju kematian. KPK dan pemberantasan korupsi mungkin sedang berada dalam fase sakaratul maut. Dalam situasi demikian, tentu berat membayangkan lembaga itu mampu membangkitkan dirinya sendiri tanpa pertolongan dari mereka yang memiliki kekuatan ‘menyembuhkan’.

Yang menjadi soal, seberapa besar kekuatan penyembuh itu (publik dan kekuatan politik yang masih cinta pada pemberantasan korupsi) dihadapkan pada penyakit kronis yang ditanamkan oleh oligarki yang korup?

Di sinilah, publik perlu mencermati dinamika lingkungan politik kita sebelum menyimpulkan apakah KPK masih perlu ‘diselamatkan’ ataukah melupakannya sembari menggagas strategi baru pemberantasan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 18 kasus besar yang belum dituntaskan KPK periode Agus Rahardjo.

Belum lagi, kasus Jiwasraya yang menyeruak belakangan, dibarengi dengan informasi tentang link atau kedekatan mantan Direktur Keuangan yang memegang kendali investasi korporasi itu dengan kalangan istana.

Kalangan masyarakat sipil dan media perlu mendorong insan KPK yang masih memiliki idealisme, untuk berupaya di tengah berbagai rintangan internal dan eksternal, membuka tabir atas kasus-kasus tersebut. Perlu ada test case untuk membuktikan apakah KPK memang sudah seperti mobil rusak yang mogok permanen ataukah masih bisa didorong untuk menghidupkan mesinnya.

Di samping itu, publik melalui berbagai metode gerakan juga diharapkan terus mengkonsolidasikan kelompok-kelompok kritis untuk mencari cara ‘penyelamatan’ KPK sambil berharap tidak ada kata terlambat. Warisan era reformasi ini, terlalu sayang untuk terlalu cepat dilupakan. Dalam konteks kasus Jiwasraya, perjuangan publik patut diarahkan ke DPR agar aspirasi membentuk panitia khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus tersebut ditindaklanjuti secara serius.

Kejaksaan Agung yang sedang melakukan penyidikan kasus tersebut juga perlu mendapatkan dukungan kritis. Melalui kasus Jiwasraya, Jaksa Agung ST Burhanudin sebetulnya memiliki peluang untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada institusinya, setelah selama lima tahun sebelumnya posisi itu diduduki politisi Partai Nasdem.

Salah satu cita-cita reformasi adalah konsistensi negara dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sekalipun potret pemberantasan korupsi tahun 2019 penuh nuansa buram, kita mesti berupaya agar di tahun 2020 ini tak menjadi lebih buram, bahkan menjadi sakaratul mautnya pemberantasan korupsi. Publik tak boleh menyerah mencari celah untuk melanjutkan pemberantasan korupsi, walau nyawa KPK sedang berkelana di batas kematian.

(Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita