100 Hari Jokowi-Ma'ruf Amin: Fokus ke Investasi, Pelemahan KPK

100 Hari Jokowi-Ma'ruf Amin: Fokus ke Investasi, Pelemahan KPK

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Upaya Presiden Joko Widodo meningkatkan investasi di periode kedua pemerintahannya dapat terhalang oleh `pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)`, ujar pengamat.

Pada 100 hari pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma`ruf Amin ditandai dengan upaya meningkatkan perekonomian dan investasi, kata peneliti politik Universitas Indonesia, Delia Wildianti.

Hal itu, kata Delia, terlihat dari rencana Jokowi mengesahkan , meski meski rancangan peraturan itu dikritik sejumlah kelompok, mulai dari aktivis lingkungan hingga serikat buruh.

Sebelumnya, Jokowi mengatakan kerumitan peraturan menyebabkan . Maka ia menargetkan rancangan undang-undang itu diselesaikan secepatnya.


Di sisi lain, Delia melihat upaya itu tidak diimbangi dengan upaya memberantas korupsi.

"Korupsi masih banyak terjadi di daerah-daerah, di tingkat nasional. Itu akan berimplikasi pada peningkatan ekonomi kita," ujar Delia.

"(Pemerintah) belum secara komprehensif menyelesaikan masalah ini. Masih melihatnya secara kacamata investasi, investasi, investasi...Memudahkan investor masuk."


Ia merujuk pada apa yang dipandangnya sebagai upaya pelemahan KPK dengan pengesahan UU KPK tahun 2019 lalu.

Hal itu dilihatnya berdampak pada lambatnya pengungkapan kasus korupsi yang diduga melibatkan politikus PDI-P Harun Masiku dan mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan pertengahan Januari ini.

Meski begitu, pemerintah sudah berulang kali membantah bahwa ada upaya pemerintah melemahkan KPK.

Jokowi mengatakan sejak ia melantik pimpinan KPK baru pada 20 Desember 2019, KPK sudah dua kali melakukan operasi tangkap tangan.

Pengaruhi investor

Anton Alifandi, Associate Director Economics and Country Risk Lembaga HIS Markit, mengatakan pemerintahan Jokowi memang sudah berada di jalur yang benar untuk meningkatkan investasi.

Ada kemajuan peningkatan dalam indeks kemudahan berusaha (ease of doing business) dalam lima tahun pemerintahan Jokowi, ujar Anton.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri menargetkan pencapaian investasi tahun 2020 sebesar lebih dari Rp880 triliun atau sekitar 11% lebih tinggi dibanding 2019.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar lima persen, juga bisa disebut baik, dibanding negara berkembang lain, ujar Anton.

Namun, Anton mengatakan, jika kerja KPK dihambat, hal itu akan berdampak pada investasi, apalagi jika negara asal investor memiliki peraturan korupsi yang ketat, seperti Amerika Serikat dan Inggris.

AS memiliki peraturan Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) dan Inggris memiliki the Bribery Act 2010.

"Perusahaan-perusahaan AS dan Inggris yang beroperasi di negara berkembang, tidak boleh melakukan penyuapan," ujar Anton.

"Tapi lebih dari itu, supplier mereka juga tidak boleh melakukan korupsi. Mereka harus cek supplier mereka tidak korup. Jadi, kalau misalnya KPK diperlemah dan risiko korupsi meningkat, itu tidak bagus untuk iklim investasi," katanya.

`Kebijakan anti korupsi tidak terlihat`

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di tahun 2019 menunjukkan perbaikan ke angka 40 atau meningkat dua poin, sejajar dengan Kuwait, Lesotho, serta Trinidad dan Tobago.

Namun, Indonesia masih berada di bawah beberapa negara Asean lainnya, yakni Singapura (85), Brunei Darussalam (60), dan Malaysia (53).

Indeks itu ditentukan berdasarkan penelitian terhadap 180 negara, dengan nilai 0 berarti paling korup dan 100 berarti paling bebas korupsi.

Sebelumnya, pada 2015, KPK menargetkan indeks korupsi Indonesia di angka 50.

Meski ada kemajuan, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan indeks itu dibuat sebelum UU KPK baru disahkan.

"Karena survei itu dilakukan sebelum revisi UU KPK, maka penilaian publik terhadap revisi UU KPK tidak terekam dalam indek persepsi korupsi," ujar Donal.

Ia melihat KPK menghadapi ganjalan hukum dan politik dalam 100 hari pertama pemerintahan presiden.

"Parahnya presiden tidak melakukan apapun dan merespon kondisi KPK yang lemah... Kebijakan anti korupsi nyaris tidak terlihat," ujarnya.

Namun, tudingan itu dibantah oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono.

"Revisi UU KPK kemarin itu dimaksudkan untuk memperkuat KPK. Penambahan Dewan Pengawas dalam KPK justru dimaksudkan untuk menjaga KPK agar tetap berada di jalur yang semestinya," ujar Dini dalam keterangan tertulis.

"Presiden juga sudah memperingatkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk menjaga jajaran agar jangan lagi ada pemerasan-pemerasan kepada pengusaha atau kepala daerah, sebagai salah satu langkah menciptakan iklim berusaha yang kondusif," tambahnya.

Ia mengatakan masa pemerintahan baru mencapai 100 hari dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dan diselesaikan pemerintah.

Namun, Dini mengklaim, dalam 100 hari ini sudah dapat dilihat pondasi-pondasi yang disusun pemerintah untuk langkah kerja ke depan.

Ia juga menjelaskan pemerintah sudah menerbitkan satu Peraturan Presiden dan satu Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU KPK yang baru.

Kekhawatiran terkait Omnibus Law

Salah satu arah kebijakan pemerintah di bidang ekonomi adalah investasi yang didorong tinggi, ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, dalam keterangan tertulis.

Hal itu, ujarnya, dilakukan dengan penyederhanaan prosedur investasi melalui Omnibus Law, investasi di sektor manufaktur, dan investasi di kawasan industri atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Merespons soal Omnibus Law, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Dadang Sasongko, menyatakan khawatir aturan itu hanya bertujuan mendatangkan modal sebanyak mungkin, tanpa memperhatikan level integritas perusahaan.

Sejauh ini, Dadang mengatakan, ia belum menemukan peraturan spesifik mengenai pencegahan anti korupsi dalam rancangan Omnibus Law.

"Jika itu terjadi, yang berani investasi di negara korup hanya perusahaan yang level integritasnya rendah sehingga lebih suka menyuap pejabat publik," ujarnya.

Di sisi lain, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat rancangan UU itu telah mendapat resistensi sekelompok masyarakat, khususnya pekerja.

Salah satu yang diperdebatkan, kata peneliti INDEF Esa Suryaningrum, adalah rencana mengenai pesangon pekerja dan peningkatan upah.

"Omnibus Law ini yang disebut undang-undang `sapu jagat`, mungkin belum akan efektif jika tidak mempertimbangkan tenaga kerja dan hanya mempertimbangkan pengusaha saja," ujarnya.

Resistensi masyarakat, ujar Esa, berpotensi membuat peraturan itu tidak efektif.

Untuk menarik investasi besar, Esa menyarankan pemerintah untuk fokus saja dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).(*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita