GELORA.CO - Menjadi advokat
yang memperjuangkan nasib rakyat bukanlah pekerjaan wangi. Banyak risiko
yang harus dihadapi, seperti teror dan intimidasi yang kerap dilakukan
oknum atau pihak yang tidak bertanggung jawab. Tidak sembarang orang mau
memilih jalan ini, apalagi bagi seorang perempuan.
Namun, hal ini
tidak berlaku bagi seorang Asfinawati. Perempuan kelahiran Bitung, 6
November 1977 ini justru terjun ke bawah untuk membela kaum lemah yang
tertindas, meskipun kadang nyawa jadi taruhannya.
“Itu memang
risiko yang harus disadari sejak awal dan siap ditanggung. Tetapi bukan
berarti kita diam saja pasrah menanti nasib,” ujarnya, saat ditemui
law-justice.co beberapa waktu lalu.
Asfinawati yang menyelesaikan
studinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, awalnya tidak pernah
bermimpi menjadi seorang pejuang hak asasi manusia. Tapi setelah melihat
ketidakadilan dan masih banyaknya penindasan terhadap rakyat, dia pun
memilih Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menjadi wadah perjuangannya.
Ia bahkan pernah dipercaya sebagai direktur di lembaga tersebut periode
2006-2009. Saat ini, Asfinawati menjabat Ketua Umum Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), periode 2017-2021.
Mendapat
tanggung jawab sebagai pimpinan, membuat ia semakin konsisten
memperjuangkan hak-hak kaum minoritas yang tertindas. Di kantornya
YLBHI, Asfinawati sering mendapat laporan atau aduan dari masyarakat
dari seluruh Indonesia. “Saya seperti keliling Indonesia, karena banyak
orang dari berbagai daerah sering datang kesini untuk mengadu,” kata
Asfinawati.
Berikut ini obrolan lebih jauh bersama Asfinawati,
mengenai berbagai hal terutama kerisauannya terhadap ketidakadilan yang
masih terus berlanjut di tanah air:
Bagaimana YLBHI melihat kondisi negara ini?
Sejak
dulu YLBHI tidak hanya berfungsi sebagai lembaga bantuan hukum yang
menyelesaikan kasus, tapi lebih dari itu, seperti soal kebijakan dan
soal demokrasi. Karena kalau kita melihat, sebenarnya masalah hukum
sangat dipengaruhi oleh kondisi politik. Ketika situasi politiknya
terbuka, maka pasti produk hukumnya terbuka, tetapi bila pemerintahnya
otoriter dan kondisi politiknya jelek, pasti produk-produknya menindas
rakyat.
Jadi saya sendiri percaya bahwa YLBHI harus banyak
bergerak bersama orang dan kelompok atau lembaga karena tidak mungkin
persoalan demokrasi diselesaikan oleh YLBHI sendiri. Sangat tidak
mungkin. Karena itu yang utama adalah bagaimana merajut pertemuan dan
gerakan dengan organisasi atau orang atau kelompok yang punya pikiran
yang sama.
Hingga saat ini masih ada perlakuan atau tindakan intimidasi terhadap para pejuang-pejuang kemanusiaan, pendapat Anda?
Pertama,
itu memang resiko yang harus disadari sejak awal dan siap ditanggung,
tetapi bukan berarti kita diam saja pasrah menanti nasib. Sebenarnya
sejak lama banyak kelompok mengusulkan adanya perlindungan terhadap
pembela HAM. Ini kan ada deklarasinya secara internasional. Jangan
salah, yang disebut pembela HAM itu bukan mereka yang tergabung di Non
Government Organization (NGO), bukan begitu. Tetapi petani yang
memperjuangkan haknya, dan kalau dia percaya nilai-nilai universal dan
lain-lain, itu juga pembela HAM. Guru juga bisa disebut pembela HAM.
Kedua,
mungkin kita juga perlu membuat strategi soal keamanan, baik secara
personal maupun secara jaringan. Misalnya, sebaiknya banyak orang yang
muncul, sehingga dia tidak menyasar hanya satu orang, meskipun itu juga
tidak terhindarkan, walau sudah banyak aktor tetap saja.
Atau ada
kemungkinan lain, dia dipilih secara random atau secara acak hanya untuk
menakut-nakuti, itu ada juga. Jadi pesannya adalah sengaja dipilih
bukan yang paling inti, karena kalau intinya diserang, nanti orang akan
marah. Misalnya suatu kasus yang kolektif seperti perburuhan atau tanah,
diambil yang tidak terlalu penting tapi bagian dari mereka supaya
terlalu tidak meledakkan kemarahan tapi memberikan sinyal “hati-hati ya
kalau kamu masih terus akan dibeginikan”.
Itu terus terjadi, dan
yang menarik nyaris tidak ada yang terungkap kasusnya oleh kepolisian
dan kalaupun ada itu hanya menyasar orang yang melakukan dan bukan orang
yang menyuruh. Misalnya dalam konflik di Jambi, sebelum peristiwa yang
menimpa anggota YLBHI yaitu Era, sebenarnya ada teman-teman yang dari
masyarakat yang dibunuh dan kemudian diadili, tapi cuma pelaku lapangan,
kan tidak mungkin dia dan motifnya apa?
Dalam setiap rezim, adakah perbedaan setiap penguasa dalam menyelesaikan kasus HAM?
Sebenarnya
ada perbedaan, ini pertanyaan yang bagus dan sulit dijawab. Jadi
begini, kalau soal komitmen, pada masa Jokowi ini sangat buruk karena
dia tidak punya perhatian terhadap kondisi HAM dan demokrasi. Tetapi
bukan berarti pada masa yang lalu situasi baik, tidak! Pada pemerintahan
yang lalu seperti Habibie, meskipun saat itu ditekan secara
internasional, beliau banyak sekali melakukan perubahan-perubahan soal
norma. Ia meratifikasi undang-undang, meratifikasi hukum internasional
soal HAM, mengeluarkan UU yang tentang HAM, banyak sekali dalam konteks
tertentu.
Kemudian Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY ini memang
tidak bisa menyelesaikan banyak persoalan, tetapi ada satu atau dua
kasus yang dia tunjukkan bahwa pemerintah punya perhatian soal HAM,
misalnya kasus Munir dan itu luar biasa sekali bagaimana pertama kalinya
seorang mantan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) bisa dibawa ke
pengadilan. Meskipun dibebaskan, setidak-tidaknya kita tahu aparat
penegak hukum punya komitmen. Meskipun didorong dengan keras, tapi pada
akhirnya berhasil. Jadi kita tahu ada pesan bahwa setiap orang yang
melakukan pelanggaran hukum, akan bisa dibawa ke pengadilan dan semuanya
sama.
Hal-hal yang serupa itu
menunjukkan kepada publik ada satu dua kasus yang dianggap penting itu
tidak kelihatan di pemerintahan Jokowi. Jadi pesan yang tampak malah
semacam “Saya tidak peduli dengan isu HAM, saya tidak peduli dengan isu
hukum,” dan itu dia tunjukkan berkali-kali, mulai dari tidak ada
pengungkapan atau penyelesaian kasus-kasus penting yang jadi indikator
dan juga pernyataan publik, dan pidato-pidato kenegaraan yang penting.
Kenapa
satu dua kasus itu penting untuk ditunjukkan kepada publik, karena
kalau seorang pembela HAM yang sangat terkenal seperti Munir atau
penyidik KPK seperti Novel Baswedan itu bisa dicelakai tanpa ada orang
yang ditangkap, maka mafia akan berpikir begini, “berarti saya bisa
lakukan lagi dan apalagi kepada orang-orang biasa. Kalau Novel saja saya
siram begitu tidak terungkap, berarti saya bisa lakukan lagi, apalagi
kepada orang yang tidak punya kuasa”.
Dalam pembentukan UU tentang hukum dan HAM, apakah YLBHI pernah diundang atau dimintai pendapatnya?
Pernah,
tapi seingat saya tidak setiap undang-undang. Yang sering mengundang
itu Bappenas. Kalau yang lain sangat jarang. Saat pembuatan
undang-undang terbuka untuk publik, bahannya tidak diungkap di situs,
jadwalnya tidak diungkap, kadang-kadang rapatnya di hotel, bagaimana
kita bisa tahu?
Apa harapan Anda dan YLBHI terhadap Indonesia?
Harapan
saya terhadap YLBHI, dia akan terus bersama gerakan rakyat, dia tidak
tergelincir ke dalam sikap elitis dan menganggap bahwa advokasi terhadap
pemerintah itu lebih penting daripada bertemu rakyat.
Kenapa saya
bilang begitu? Karena pada masa awal-awal reformasi ada sebuah
pertemuan strategi dan itu dipikirkan kita mungkin perlu memperkuat
negara karena kita baru keluar dari negara otoriter. Apa yang terjadi?
Negara khususnya pemerintah makin kuat, tapi semakin kuat menindas
rakyat. Kita lihat setelah 21 tahun reformasi ini tiba-tiba negara
menunjukkan tanda-tanda yang serupa dengan masa pemerintahan orde baru.
Kalau
ada yang bilang, oh kita masih jauh. Ya tentu saja karena ini baru enam
tahun bukan 32 tahun. Jadi jangan dibandingkan dengan tahun ke 32. Tapi
sinyal-sinyal elemennya kan ada, pengaturan masuknya kembali militer,
polisi di berbagai posisi sipil, kemudian kategori-kategori yang dipakai
yang sangat tidak jelas yang merefleksi membatasi kebebasan sipil,
seperti kemarin itu isu radikalisme. Radikalisme itu mencampurkan antara
terorisme dengan intoleransi, padahal itu jauh sekali di dalam kajian.
Menjadi intoleran dengan menjadi teroris itu hal yang sangat jauh
sekali.
Harapan kepada negara, sebenarnya begini, negara itu bisa
menyelesaikan bukan dengan elit, setidaknya itu yang ditunjukkan dalam
21 tahun reformasi. Reformasi mengajarkan kita bahwa masalah bisa
diselesaikan dengan rakyat atau dengan orang biasa. Karena itu semoga
semua orang di Indonesia itu menyadari panggilannya bahwa Indonesia bisa
lebih menjadi makmur, bisa menjadi lebih sejahtera, bisa menjadi lebih
aman, ya karena kita bukan karena elit. Elit menunjukkan dia yang
merampas hak-hak kita dan memecah belah masyarakat.*
[ljc]