Oleh: Ale Thalib (aktivis politik)
"..tanpa definisi, kita tidak akan pernah sampai pada konsep..." [Ibnu Sina]
Cermin spesifik dari interpretasi Pancasila selalu bersifat abstrak dan dialektis, sehingga tafsiran Pancasila seolah sangat sangat sulit dan dinamis jika dikaitkan dengan kontekstualisme dari relevansi pragmatis yang kerap bergantung pada klaim dominan-politis.
Akan tetapi, jika interpretasi Pancasila bergantung pada klaim dominan-politis, maka yang terbentuk hanyalah asumsi ideologikal yang berangkat dari prinsip kekuasaan absolut, sehingga seluruh aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat diatur pada ideokrasi yang terkontrol dibawah payung totalitarianisme, yang tentunya hal itu akan bertabrakan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri.
Pancasila Sebagai Akses Masuk Ideologi Politik
Jika dipertajam, Pancasila memiliki deskripsi komparatif yang mengungkap varian (cela) ideologi yang dimana memiliki premis ideologis pada masing-masing sila-nya. Maka tidak heran komunisme, libertarianisme, hingga teokratisme dapat tersugestikan definisinya melalui Pancasila.
Pancasila bisa sangat begitu fleksibel tafsirnya sehingga integrasi ideologi memungkinkan di-terorganisirkan ialah disebabkan melalui nilai-nilai yang tertuang didalam Pancasila sendiri. Alhasil, Pancasila berpotensi begitu luwes mengkonstruksikan suatu ideologi politik.
Kalaupun ada pertanyaan apakah Pancasila bisa ditetapkan sebagai ideologi negara atau bukan, maka yang bisa sebagai jawabannya adalah, dari kelima poin Pancasila memiliki elaborasinya masing-masing sehingga penguraian poin per poin (elaborasi) pada Pancasila tidak bisa ditempatkan sebagai ideologi negara dan tentunya akan sangat sulit dikompromikan menjadi satu rumpun (cakupan) ideologi bernegara karena banyaknya variabel idelogi yang akan saling konfrontir satu sama lainnya, yang artinya Pancasila akan melakukan otokritik atas dirinya sendiri sebagai ideologi negara.
Analisis
Pancasila yang telah mengalami dua kali perombakan pada penetapan butir-butir pengamalannya, yakni pada tahun 1978 (Ketetapan MPR no. II/MPR/1978) dan tahun 2003 (Ketetapan MPR no. I/MPR/2003), jika didekatkan kepada klasifikasi ideologi negara yang dikaitkan pada sudut pandang elaboratif kelima-sila, maka Pancasila akan tersandera berada pada golongan ideologi terbuka yang dimana implikasinya tidaklah mutlak ditengah sistem pemerintahan, sistem demokrasi dan multipartai di Republik Indonesia, sehingga Pancasila memiliki konsekuensi dan resiko politis yang mengalokasikan kekuasaan multi-idelogi.
Artinya, menempatkan Pancasila sebagai suatu ideologi negara tentunya akan mengaburkan esensi sekaligus akan membias dari rumus Pancasila itu sendiri. Sebab 'ideologi negara' dalam pemaknaannya memiliki rujukan gagasan yang tersalurkan melalui sistem kepercayaan (keyakinan rasional) politik, sehingga gagasan bernegaranya pun harus disesuaikan seluruhnya dengan alur pemikiran dasar dari ideologi politiknya, entah itu pada tatanan teoritik (konstitusi) maupun praktek kenegaraan (kebijakan). Sebagai contoh, Komunisme (Marxisme-Leninisme) yang ditetapkan sebagai 'ideologi negara' Uni Soviet pada perenungan ideologinya tercatat pada Konstitusi Soviet 1918 (RSFS Rusia - Undang-Undang Dasar Soviet) dan seluruh praktek kenegaraannya terukur akurat dengan kebijakan-kebijakan dikator-proletariat dan berlanjut pada Konstitusi Soviet 1924 yang dimana seluruh aktifitas kenegaraannya bertujuan untuk menciptakan masyarakat komunis.
Sedangkan Pancasila yang terdapat lima sila yang bersifat abstrak, dialektis dan luwes dapat ditafsirkan dengan berbagai ideologi yang tentunya saluran-saluran ideologi politik dapat terformulasikan secara radikal. Maka secara keseluruhan argumen diatas dengan sendirinya Pancasila harus dibatalkan klaimnya sebagai ideologi negara.
Lalu apakah Pancasila bisa dikaitkan sebagai 'dasar negara' seperti yang tertuang dalam Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentunya akan memunculkan redefinisi teori bernegara yang lebih rumit dan tentunya Pancasila akan melakukan interospeksinya sendiri untuk menyesuaikan UUD 1945 sebagai basis konstitusi dan juga hukum dasar tertulis (basic law), bukan justru sebaliknya.
Jika seperti itu maka Pancasila akan mengalami tiga resiko:
1. Kedudukan Pancasila akan bergeser kebawah sebagai pola penyesuaian pada UUD 1945.
2. Pancasila akan menyatakan dirinya hanya sebatas pengompromi antara UUD 1945 (grondwet) dengan basis konstitusi.
3. Pancasila akan diukur sebagai ide yang memandang masa lampau sebagai refleksi, dan tidaklah memandang masa depan.
Jadi jelas, melalui ketiga resiko itu, Pancasila tidaklah pun dapat dijadikan sebagai dasar negara. Karena keterikatan Pancasila yang akan terbatas pada konsep fundamental bernegara dan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkelanjutan (modern).
Argumentasi Atas Ekspresi Pancasila
Tentulah Pancasila berbeda ekspresi antara 'Pancasila sebagai ideologi negara' dan 'Pancasila sebagai dasar negara'. Kedua ekspresi dari Pancasila tersebut memiliki kecenderungan yang berbeda pada sifat dan ciri yang tentunya perlu diajukan argumentasinya untuk meneliti kembali kerangka, metode, dan tujuan dari Pancasila yang pengajuan argumennya pun harus bersifat subjektif, sehingga Pancasila dapat ditemukan kesimpulannya sebagai azas yang unik dan spesifik serta tidak saling bertentangan pada sila-silanya sebagai suatu identitas bangsa (bukan identitas bernegara).
Bukanlah perkara mudah meneliti kembali kerangka, metode, dan tujuan dari Pancasila. Namun Pancasila akan menemukan jalannya sebagai identitas bangsa jika ditempatkan berada pada "sains ide" yang nantinya akan mengarah pada pembentukan moral, etika, fondasi politik dan Pemerintahan yang aman bagi keberlangsungan dan eksistensi Pancasila sebaga mahakarya politik founding fathers Indonesia.
Premis utama dari Pancasila sebagai identitas bangsa adalah nilai dan motifasi ideologis dalam urusan manusia (faktor-faktor yang membentuk ideologi seseorang) sehingga kondisi formil, norma sosial, sifat/karakteritis, dan pola pikir dasar masyarakat Indonesia dapat teridentifikasi secara filosofis yang tertuang didalam sila-silanya.
Artinya, melalui premis utama dari Pancasila tersebut diatas, maka Pancasila memungkinkan akan kandas ditepi sejarah karena diterpa oleh perubahan kondisi formil dan pola pikir dasar masyarakat Indonesia siering waktunya (efek transformasi ideologis) sehingga mengaburkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri, seperti gejala masyarakat sekuleris yang mengaburkan integritas negara kepada agama (sila pertama), hingga privatisme yang mengaburkan social justice (sila ke-lima), yang tentunya kedua hal itu dapat hidup diruang praksis ideologi politik.
Jika diringkas, meskipun kekuasaan bertanggung jawab dalam menjaga eksistensi Pancasila, tetapi tidak ada jaminan kongkrit bagi Pancasila dapat bertahan permanen ketika manusia terus ber-evolusi pemikirannya dan dinamika sosial berkembang melalui seleksi politis maupun non-politis yang membentuk serangkaian preferensi ideologis pada masing-masing individu. Yang artinya Pancasila hanya dapat dimaknai sebagai identitas bangsa secara historis.(*)