GELORA.CO - PBNU telah menyampaikan kepada pemerintah Cina melalui Kedutaan Besar Cina untuk Indonesia agar umat muslim Uighur dan umat beragama lainnya dapat melaksanakan peribadatan sebagaimana tuntunan agamanya masing-masing.
Hal itu disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Robikin Emhas.
Ia telah meminta agar penentuan kebijakan penanganan radikalisme berbasis agama melibatkan organisasi keagamaan dan pemuka agama di sana, termasuk dalam menentukan kebijakan mengenai pengertian dan indikasi radikalisme.
“Persoalan Uighur yang terjadi di Cina merupakan persoalan yang bersifat kompleks. Ada separatisme, terorisme, radikalisme dan salah kaprah otoritas pemerintah dalam mendefinisikan radikalisme. Misalnya ada yang kampanye terbuka produk halal lalu dilabeli radikal. Tentu saja selain perang dagang,” terang Staf khusus Wapres Ma’ruf Amin ini, saat berada di Meulaboh, Senin (23/12).
Selain itu, problem lain yang mendasar bagi pemeluk agama (apa pun agamanya), pemeluk agama di negara tersebut tidak bisa menjalankan peribadatan di sembarang tempat.
“Hanya boleh menjalankan peribadatan di tempat ibadah dan ruang privat. Di kantor pemerintah, tempat kerja dan lembaga pendidikan tidak boleh, kecuali lembaga pendidikan berbasis agama,” katanya menambahkan.
Hal itu terjadi karena regulasinya memang mengatur seperti itu. Sementara pada level konstitusi Cina memberi jaminan kebebasan bagi warga Cina untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama dan keyakinan.
Menurutnya, PBNU mengormati kebijakan dalam negeri suatu negara, termasuk Cina dalam setiap upaya mempertahankan keutuhan wilayahnya, dengan tetap menjunjung dan mengedepankan martabat kemanusiaan dalam proses penanganannya.
“Kita patut mendukung pemberantasan terorisme. Karena terorisme bertentangan dengan ajaran agama mana pun dan tidak dibenarkan berdasar nilai kemanusiaan yang bersumber dari ideologi apa pun,” jelas Robikin Emhas.
Ia menegaskan, tanpa bermaksud mencampuri urusan dalam negeri Cina, ia berharap agar Cina memiliki perspektif baru dalam mendefinisikan kebebasan menjalankan peribadatan bagi pemeluknya.
Begitu juga dalam menentukan batasan apa yang disebut sebagai radikal, sehingga tidak ada orang yang mengkampanyekan makanan halal atau meminta menu halal di restoran lalu dikategorikan radikal dan dilakukan penindakan.[rmol]