Marak Impor Bikin Beras Bulog Numpuk hingga Terancam Busuk

Marak Impor Bikin Beras Bulog Numpuk hingga Terancam Busuk

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 2,25 juta ton pada tahun 2018 kembali menjadi perbincangan di tahun 2019 ini. Impor tersebut menyebabkan melimpah ruahnya cadangan beras pemerintah (CBP) dan menumpuk di gudang Bulog. Perlu diketahui, dari kuota tersebut, Bulog merealisasikan impor beras sebanyak 1,8 juta ton di 2018.

Pada awal November 2019 saja, sebanyak 900.000 ton beras eks-impor itu masih tersisa di gudang Bulog. Padahal, lebih dari empat bulan 'mengendap' di gudang, cadangan beras tersebut sudah turun mutu.

Bahkan, pada 1 Desember 2019, Perum Bulog mengumumkan bahwa 20.000 ton CBP turun mutu dan terancam busuk. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan masyarakat, bahkan muncul sebuah tagar #TangkapEnggar di Twitter keesokan harinya. Tagar tersebut sempat populer di laman Twitter Indonesia selama dua hari.

Cuitan yang menggunakan tagar tersebut berisikan komentar warganet atas kebijakan impor yang diberikan Menteri Perdagangan periode 2016-2019, Enggartiasto Lukita. Kebijakan itu dinilai memberi andil terhadap 20.000 ton beras Bulog yang terancam busuk.

Menanggapi hal itu, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Tri Wahyudi menegaskan bahwa kebijakan impor beras tahun lalu tak menjadi penyebab 20.000 ton beras turun mutu.

"(Impor) nggak ada pengaruh," tegas Tri di kantornya, Jakarta, Selasa (3/12/2019).

Lantas, apa yang menjadi penyebab beras Bulog itu terancam busuk?

1. Banjir Hingga BPNT Jadi Penyebab 20.000 Ton Beras Bulog Terancam Busuk?

Tri Wahyudi membeberkan penyebab dari macetnya penyaluran beras tersebut yang membuat beras lama tersimpan dan terancam busuk.

Pertama, salah satu lokasi gudang Bulog di suatu daerah terkena banjir. Bencana itu turut merusak kualitas beras itu.

"Banyak faktor, ada di satu daerah yang kena banjir, itu berpengaruh," tutur Tri di kantornya, Jakarta, Selasa (3/12/2019).

Kedua, pengalihan program bantuan sosial (bansos) dari beras sejahtera (rastra) ke Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

"Tadi pengalihan dari rastra ke BPNT itu pengaruh juga. Kan dari 2,3 juta ton (penyaluran untuk bansos), sekarang jadi 300 ribu ton, kan banyak. Dan beras itu kan barang mudah rusak. Coba taruh beras di rumah sebulan rusak tidak? Rusak lah. Apalagi BPNT dari 2017 untuk 45 kota, itu kan pengaruh ya, di antaranya," jelas Tri.

Ketiga, jarangnya rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sejak pergantian menteri baru, sehingga sampai saat ini Bulog belum menerima arahan dalam menyalurkan CBP.

"Belum (ada penugasan lagi), tanya Pak Menteri yang baru saja," ujar dia.

2. Gudang Penuh, Beras Bulog Terancam Busuk

Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas) menyebut gudang Bulog sudah hampir penuh. Namun beras-beras yang disimpan terancam busuk karena belum disalurkan.

Menurut mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu, Bulog kini terus menyerap beras dari petani. Di sisi lain beras-beras itu tidak kunjung disalurkan, sehingga terus mengendap di gudang Bulog.

"Kapasitas gudang kita 2,6 juta ton, sekarang sudah mencapai 2,3 juta ton. Tinggal 300 ribu ton lagi penuh, tidak bisa menyerap lagi. Tinggal nunggu busuk karena tidak disalurkan," kata Buwas di kawasan persawahan RS UNS, Sukoharjo, Jumat (21/6/2019).

Padahal, kata Buwas, saat ini Bulog masih terus menyerap gabah dari petani. Setiap hari ada sekitar 10 ribu ton beras yang masuk ke gudang Bulog di berbagai daerah.

"Saya prediksi hingga Juli-Agustus akhir bisa mencapai 3 juta ton kalau beras tidak kita salurkan," ujarnya kala itu.

3. 20.000 Ton Beras Bulog Terancam Busuk Akhirnya Dilelang

Sejak 13 Desember 2019, Bulog telah resmi melelang 20.367 ton cadangan beras pemerintah (CBP) yang turun mutu atau terancam busuk karena sudah disimpan lebih dari 4 bulan. Lelang beras tersebut dimenangkan oleh PT Zona Eksekutif Linier yang memproduksi lem furniture (mebel).

"Pemenang lelang terbuka beras turun mutu adalah PT. Zona Eksekutif Linier, perusahaan industri lem furniture," kata Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Tri Wahyudi Saleh kepada detikcom, Senin (23/12/2019).

Beras tersebut dilelang dengan harga dasar Rp 23,75 miliar. Adapun nilai yang diajukan PT Zona Eksekutif Linier sebesar Rp 23,8 miliar.

"Ada update dong, itu kan harga minimal. Kemarin yang menang itu sekitar Rp 23,8 miliar," ungkap Tri.

Tri memastikan, beras tersebut akan diolah menjadi bahan dasar industri lem sesuai dengan izin industri yang dipegang sang pemenang lelang.

"Kan izin industrinya sudah jelas di bidang apa, dia industri lem furniture kan. Dan itu bisa (diproduksi menjadi bahan baku industri lem mebel). Sudah kami konfirmasi, sudah kami cek juga," jelas Tri.

Selain itu, Bulog juga bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Satgas Pangan Mabes Polri, dan Intelkam Mabes Polri untuk mengawasi PT Zona Eksekutif Linier dalam mengolah beras tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi aksi penggunaan beras untuk konsumsi baik pangan maupun pakan.

"Kami mengundang juga dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Satgas Pangan Mabes Polri, dan Intelkam Mabes Polri. Kami sudah sampaikan kepada peserta bahwa beras ini kami awasi pengeluarannya. Satu butir pun kami awasi, dari gudang Bulog sampai ke mana pun kami awasi. Jadi insyaallah tidak akan ada kebocoran. Dan ini sudah dilarang untuk dikonsumsi baik pangan maupun pakan," terangnya.

Jika perusahaan tersebut melanggar aturan yang sudah diberlakukan dalam lelang, maka keempat instansi tersebut tak akan segan untuk menjatuhkan sanksi hukum.

"Ini hanya boleh untuk industri. Nanti kalau dia melanggar ya sudah ada aturannya. Nanti ada sanksinyalah. Ada larangan-larangan tidak boleh mengedarkan barang-barang yang tidak boleh dikonsumsi, kan ada sanksinya. Detailnya kami belum tahu, nanti kami akan koordinasi sanksi-sanksinya. Yang pasti sanksi hukum pasti ada," pungkas Tri.

4. Beras Busuk Dilelang Murah, Bulog Minta Sri Mulyani Bayar Selisih Penjualan

Sebanyak 20.367 ton CBP yang resmi dilelang Bulog ditawarkan dengan harga dasar Rp 23,75 miliar. Menurut perhitungan detikcom, dari 20.000 ton beras tersebut dilelang dengan harga Rp 1.165/kg. Padahal, sebelumnya Direktur Utama (Dirut) Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan bahwa pihaknya membayar Rp 8.100/kg ketika menyerap beras tersebut.

Untuk itu, pihaknya telah menyampaikan surat permintaan penggantian selisih hasil lelang kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

"Per kg itu kita sewaktu serap Rp 8.100. Persoalannya hanya satu, biaya selisih pengganti ada di siapa? Nah sekarang sudah dijawab Menkeu. Menkeu akan mengalokasikan sesuai hasil lelang laku berapa, selisih berapa, itu akan diganti oleh negara," papar Buwas usai menghadiri rapat koordinasi pembahasan tentang pangan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (18/12/2019).

Masalahnya di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum ada aturan untuk menganggarkan ganti rugi tersebut. Saat ini Kemenkeu melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) masih dalam tahap mengkaji payung hukum tersebut. Itu menurutnya bakal memakan waktu.

Lebih lanjut, Sri Mulyani merespons permintaan Perum Bulog untuk diberikan ganti rugi atas beras 20 ribu ton yang terancam di-disposal atau dibuang.

Dirinya mengatakan akan membahas hal tersebut saat rapat nanti dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Dia belum mengetahui detail permintaan dari Perum Bulog. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun belum bisa memberikan keterangan lebih jauh.

"Nanti kita lihat kalau sudah dirapatkan di Menko ya. Saya lihat semuanya," kata Sri Mulyani di kantornya, Jakarta Pusat, 29 November 2019.

5. Sedih! Gara-gara Impor Beras, Bulog Berutang Rp 28 T

Perum Bulog mencatatkan utang perusahaan sebesar Rp 28 triliun. Utang tersebut berasal dari penugasan pemerintah yakni menyerap beras petani, atau pun impor beras dalam mengisi CBP. Dalam hal ini, keuangan Bulog yang jadi jaminannya.

"Kita dapat penugasan dari negara untuk impor beras contohnya, ini kan beras CBP, tapi yang mengimpor dan membeli Bulog, uangnya pinjam, utangnya Bulog. Ini masalah besar, karena nilainya triliunan dan bunganya komersial. Sedangkan CBP ini tidak bisa kita jual belikan kecuali ada penugasan," ungkap Buwas kata Buwas dalam acara Ngopi BUMN, di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (1/11/2019).

Belum lagi bunga pinjaman daru bank yang harus dibayar Bulog. Asisten Deputi Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Agus Suharyono mengatakan, Bulog harus berhadapan dengan bunga pinjaman Rp 10 miliar setiap harinya.

"Setiap bangun pagi Pak Budi ini mikirin bunga. Bunga itu catatan kami hampir Rp 10 miliar, satu hari!" kata Agus.

Tak lupa juga operasional perusahaan dan 4.000 karyawan setiap harinya yang bisa menelan biaya Rp 6 miliar/hari.

"Beliau (Buwas) juga harus menyiapkan 4.000 karyawan, yang setiap hari operasional butuh Rp 6 miliar," terang Agus.

Selain itu, dengan stok yang melimpang, Bulog harus menghadapi penjualan yang seret kareja berasnya tak terserap pasar. Sehingga pendapatan perusahan pun tersendat dan terancam tak bisa bayar utang.

Buwas pun putar otak untuk mengatasi seretnya penjualan beras tersebutn dengan melakukan sejumlah inovasi salah satunya adalah menjual beras premium.

"Untuk komersial juga harus bicara kualitas. Tidak bisa hanya kuantitas dan berharap pada masyarakat. Tidak bisa, harus kita yang bergerak. Maka saya membuat program. Dan saya membuat produk beras premium dari beberapa jenis beras berkualitas termasuk kemasannya, mereknya. Nah terbangun inovasi-inovasi di kalangan anggota saya," tutur Buwas.

Inovasi lain yang dilakukan Bulog adalah mengembangkan produk beras fortivikasi atau beras bervitamin. Selain itu, Bulog juga membuat tepung dari bahan baku bekatul yakni bulir beras, atau yang biasa dikenal dengan dedak.

"Ternyata ada poduk kualitas yang dihasilkan dari beras, yaitu bekatul atau dedak. Itu dulu untuk pakan ayam dan ikan. Tapi orang asing yang mengerti kualitas pangan mereka mengkonsumsi itu dedek. Lihat saja di Ranch Market harga bekatul itu mahal. Timbul pemikiran saya kita memproduksi beras kok itu kita abaikan, padahal punya nilai ekonomis dan jelas nilai vitamin yang tinggi karena itu ada di kulit ari-nya beras. Akhirnya saya bilang Direksi coba pikir ini akan jadi produk kita. Tapi tidak baku, bagaimana kaau kita bikin jadi tepung, (dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita