GELORA.CO - Jika melihat runutan catatan kondisi keuangan perusahaan, ternyata masalah yang membelit Jiwasraya sesungguhnya sudah terjadi sejak lama.
Dalam rapat dengar pendapat di DPR RI, sejumlah anggota DPR menyinggung mafia pasar modal. Kejaksaan Agung pun menangkap indikasi korupsi di Jiwasraya yang menyebabkan negara merugi Rp 13,7 triliun.
Indikasi itu mengacu pada dokumen dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR. Dokumen itu juga merilis keterangan bahwa yang terjadi pada Jiwasraya saat ini adalah masalah menahun sejak krisis moneter 1998.
Masalah kian “berbunga” lantaran terkesan ada pembiaran.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE), Piter Abdullah. Menurutnya, langkah-langkah yang tidak tepat dari direksi dalam upaya penyelamatan kian membuat situasi runyam.
Berikut catatan kronologis permasalahan Jiwasraya.
2004: Perusahaan melaporkan cadangan yang lebih kecil daripada seharusnya, insolvency mencapai Rp 2,769 triliun.
2006: Laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban. Oleh karenanya, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
2008-2009: Defisit semakin lebar yaitu berturut-turut Rp 5,7 triliun di 2008 dan Rp 6,3 triliun di 2009. Maka di tahun 2009 mulai dilakukan langkah-langkah penyelamatan jangka pendek (re-asuransi).
Kementerian BUMN menyampaikan kepada direksi Jiwasraya bahwa akan tetap mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan dan meminta langkah-langkah kongkrit secara menyeluruh sehingga permasalahan Jiwasraya dapat diselesaikan.
2010-2012: Melanjutkan skema re-asuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp 1,3 triliun akhir tahun 2011. Bapepam-LK meminta Jiwasraya menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental yang sifatnya jangka panjang.
Pada 2012, Bapepam-LK memberikan ijin produk JS Proteksi Plan yakni produk bancassurance dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY.
Per 31 Desember 2012, dengan skema financial re-asuransi, JS masih mencatat surplus sebesar Rp 1,6 triliun. Namun tanpa skema finansial re-asuransi maka JS mengalami defisit Rp 3,2 triliun.
2013-2016: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta Kementerian BUMN untuk menyampaikan langkah alternatif penyehatan keuangan JS beserta jangka waktu penyehatan keuangan, karena memiliki permasalahan rasio pencapaian solvabilitas yang kurang dari 120%.
Direksi JS menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS (nilai buku Rp 278,2 miliar), direvaluasi menjadi Rp 6,56 triliun dan mencatatkan laba sebesar Rp 457,2 miliar.
Pada 2015, OJK melakukan pemeriksaan langsung terhadap JS dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan. Audit BPK di 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang JS dan laporan aset investasi keuangan yang overstated dan kewajiban yang understated.
Pada 2016, OJK meminta JS rencana pemenuhan rasio kecukupan investasi karena sudah tidak lagi menggunakan mekanisme re-asuransi.
2017: OJK memberikan sanksi peringatan pertama karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris tahun 2017. Laporan keuangan JS 2017 masih positif. Pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp 21 triliun, laba Rp 2,4 triliun atau naik 37,64% dari tahun 2016. Ekuitas perseroan surplus Rp 5,6 triliun tetapi kekurangan cadangan premi Rp 7,7 triliun karena belum memperhitungkan impairment asset atau penurunan aset.
April 2018: OJK bersama dengan direksi JS membahas adanya pendapatan premi yang turun cukup signifikan akibat diturunkannya guaranteed return atas produk JS Saving Plan setelah dilakukan evaluasi atas produk tersebut.
Mei 2018: Pergantian direksi. Setelah tu, direksi baru melaporkan terdapat ketidakberesan laporan keuangan kepada Kementerian BUMN. Hasil audit KAP atas laporan keuangan JS 2017 antara lain mengoreksi laporan keuangan interim yang semula mencatatkan laba Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.
10 Oktober 2018: JS mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar.
23 November 2018: OJK mengadakan rapat dengan direksi JS dengan agenda pembahasan kondisi perusahaan pada triwulan III 2018 dan upaya yang telah dilakukan oleh manajemen perusahaan.
2019: JS terlambat menyampaikan laporan keuangan 2018, OJK mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan berlaku.
OJK mengeluarkan izin pembentukan anak usaha JS yaitu Jiwasraya Putra yang merupakan salah satu bagian dari rencana penyehatan keuangan yang telah disetujui oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham.(rmol)