KontraS: Kebebasan Berkumpul di Era Jokowi Mengkhawatirkan, Aparat Dijadikan Alat

KontraS: Kebebasan Berkumpul di Era Jokowi Mengkhawatirkan, Aparat Dijadikan Alat

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menyatakan kebebasan hak berkumpul dan menyuarakan pendapat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo mengkhawatirkan.

Hal ini berkiblat pada hasil pantauan yang dilalukan KontraS selama periode 2015-2018. Dalam periode ini ada 1.056 peristiwa pembatasan dan pelanggaran terhadap hak berkumpul yang terjadi di semua provinsi di Indonesia.

“Kebebasan berkumpul warga negara adalah hak fundamental, juga terkait dengan hak-hak lainnya. Kalau hak ini dibatasi atau dilanggar, maka akan berdampak pada hak beorganisasi dan hak berpendapat,” ujar Yati, Jumat(6/12).

Semua peristiwa pembatasan dan pelanggaran sebagian diantaranya melibatkan aparat negara. Mereka terlibat dalam upaya membatasi atau menghalangi warga berkumpul.

Aparat terlibat dan berpihak pada kelompok-kelompok yang menolak kebebasan berkumpul. “Bahkan, tak jarang menggunakan cara-cara militer untuk membatasi atau melanggar kebebasan berkumpul,”lanjutnya.

Selain itu, kata Yati, aparat negara ikut berperan dalam membatasi atau melarang hak dalam isu-isu tertentu atau isu-isu lain yang sengaja diciptakan oleh negara utuk menakut-nakuti warga.

Karenanya KontraS melihat situasi kebebasan berkumpul di periode kedua pemerintahan Jokowi bisa saja jalan di tempat atau malah makin buruk. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.

“Periode kedua bisa jadi jalan di tempat karena masih adanya sejumlah aturan yang membatasi hak kebebasan berkumpul, seperti undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan, dimana pemerintah bisa membubarkan sebuah organisasi kemasyarakatan tanpa melalui proses peradilan,”ungkapnya, seperti dikutip VOA, Sabtu(7/12).

KontraS juga tidak melihat akan adanya suatu aturan yang akan memberikan jaminan untuk hak kebebasan berkumpul secara lebih konkret, lebih kuat. “Yang ada justru sebaliknya. Ada aturan-aturan yang sedang direncanakan dan itu dapat mengancam jika dilanjutkan,” kata Yati.

Sebagai contoh adalah sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan dapat mengancam kebebasan berkumpul dan berpendapat warga negara. Pasal pemidanaan terhadap tindakan yang dianggap menyerang kehormatan presiden.

Rivanlee Anandar, Staf Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, menjelaskan lembaganya menjadikan tiga daerah yang dijadikan patokan untuk mengukur situasi kebebasan berkumpul di Indonesia, yakni Jawa Barat, Yogyakarta, dan Papua.

Ketiga daerah tersebut dijadikan sampel karena masifnya angka pembatasan kebebasan berkumpul secara damai dan terdapat kasus-kasus penting yang mendapat perhatian publik secara luas.[]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita