OLEH: M. HATTA TALIWANG
DENGAN sistem one man one vote, menyamakan suara satu orang gila dengan suara satu gurubesar adalah kegilaan yang tiada taranya
1. Biaya pilpres langsung secara ekonomi sangat mahal, untuk biaya KPU, biaya dari kantong capres, dan lain lain. Sehingga untuk pembiayaan ini bisa terjadi indikasi penyalahgunaan kekuasaan, terutama oleh tokoh atau capres yang berkepentingan untuk menang dengan cara apapun. Misalnya dalam skandal Century dan kini diduga berkaitan dengan skandal Jiwasraya.
2. Biaya sosial, psikologis juga mahal. Suasana kampanye merusak hubungan sosial psikologis masyarakat karena banyak hoaks hingga fitnah, hubungan antar warga kurang harmonis dan saling prasangka dll. Dalam Pilpres 2019 biaya paling mahal secara kemanusiaan dan hukum adalah kematian petugas pemilu/pilpres hingga 700-an orang tanpa kejelasan status kematiannya.
3. Isu-isu sensitif soal suku, ras,antar golongan, agama sampai tetek bengek soal cara beribadah diumbar hingga mengancam persatuan.
4. Presiden Threshold (PT) lama di mana sudah banyak pemilih yang lalu (2014) yang telah meninggal, masih dihitung dan digunakan sementara pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2018 tidak dianggap, maka apapun argumennya tetap cacat hukum, cacat akal sehat, dan cacat moral.
5. Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih adalah indikasi bahwa dengan cara apapun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih 31 juta yang misterius itu. Ini sesuatu yang sangat tidak logis.
6. Sistem pilpres langsung ini sangat mudah diintervensi dengan berbagai instrumen yang potensial dikendalikan penguasa apalagi jika berkonspirasi dengan pemilik modal untuk menggolkan oknum yang mereka inginkan.
Instrumen seperti: lembaga survei, akademisi tak bernurani, intelijen resmi atau partikelir, aparat keamanan, birokrat, LSM, ormas, media massa bejat, dll dengan uang , janji jabatan, permainan pajak, permainan hukum dll bisa dilibatkan dalam konspirasi.
Aparat keamanan, hukum dan birokrat yang mestinya netral tanpa sadar atau dengan sadar sering terbawa arus oleh godaan godaan di atas.
7. Belum terhitung bagaimana teknologi IT yang canggih yang bisa dipermainkan ditambah produksi KTP misterius, formulir misterius dan lain lain sangat tidak kondusif untuk membangun rasa saling percaya dalam sistem pilpres ini.
8. Dengan sikap KPU yang penuh keanehan (misalnya mendadak mengubah cara debat) dan berbagai indikasi lainnya yang menunjukkan dugaan mengakomodir kepentingan salah satu peserta pilpres, maka bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa KPU bisa netral dan sungguh sungguh akan menghasilkan pilpres yang bisa dipercaya? Situasi ini sungguh akan menimbulkan bencana politik dikemudian hari.
9. Argumennya bahwa pilpres langsung menghasilkan demokrasi yang bagus bisa dipertanyakan. Misalnya dari Pilpres 2014 yang lalu:
Jumlah pemilih lk 195 juta. Pemilih Jokowi lk 70 juta. Pemilih Prabowo lk 62 juta. Golput dll lk 60-an juta.
Maka yang murni pilih Jokowi = 70/195x100 persen = lk 37 persen.
Katanya demokrasi itu 50+1. Padahal itu cuma diikuti dua capres. Kalau diikuti lebih dari dua capres tentu lebih kecil lagi prosentase dukungan terhadap capres terpilih.
Ini yang kami sebut hasil pilpres legal tapi tidak legitimatif. Apakah ini demokratis? Apakah ini lebih bagus dari sistem perwakilan, musyawarah mufakat, dalam hikmah kebijaksanaan yg di atur UUD45 yg disusun pendiri negara? Silakan direnungkan .
10. Setelah presiden terpilih berdasarkan pengalaman:
a. Tahun pertama sibuk konsolidasi kekuasaan. Partai partai yang dianggap bukan pendukung rezim, diobrak abrik atau dijinakkan dengan segala cara. Mulai terjadi persekongkolan atau bangun oligarki. Ujungnya kepentingan rakyat diselewengkan.
b. Tahun kedua, mulai raba raba program apa yg mau dikerjakan yg bisa membuat rakyat segera melihat hasil nyata. Program abstrak misalnya revolusi mental, nation and character building dll disingkirkan. Kejar tayang yang bisa rakyat kagum. Dipilih program praktis misalnya kartu sehat dan yang paling mudah itu infrastruktur, sekalipun dengan seruduk gunakan pinjaman dengan bunga besar atau gunakan dana yang tidak semestinya untuk infrastruktur seperti dana haji, dana pensiun, dana BPJ (dimana Pemerintah sampai berhutang ke Muhammadiyah sebesar 1,2 T) dll. Itu sekadar contoh bagaimana bekerjanya sebuah sistem tanpa tuntunan GBHN.
c. Tahun ketiga, mulai bangun pencitraan, banyak selfie dan berbagai acara yg sifatnya konsolidasi untuk terpilih periode kedua.
d. Tahun keempat, mulai sibuk bertempur, karena lawan tanding sudah mulai muncul. Praktis setahun petahana sibuk kampanye tersembunyi atau terang terangan.
Beberapa program seperti raskin, bansos dll diolah menjadi modal politik petahana.
Dengan kata lain sistem pilpres langsung ini menghasilkan presiden yang praktis hanya bekerja untuk bisa dipilih kembali utk periode berikutnya, tak mampu bekerja untuk program jangka jauh yang sifatnya membangun fondasi kuat agar negara bisa kokoh.
Membangun dengan gali lobang tutup lobang menjadikan banyak negara baru merdeka lebih maju meninggalkan Indonesia yg terseok seok. Membangun yang mudah dan tampak oleh rakyat seperti infrastruktur misalnya, dengan utang besar, hanya mewariskan beban yang berat untuk pemerintah berikutnya. Inilah proses menuju kebangkrutan kalau sistem ini dilanjutkan.
11. Penilaian atas prestasi presiden lima tahun pertama, tidak lagi di depan MPR RI, artinya diserahkan langsung ke rakyat pemilih. Sementara rakyat pemilih banyak yang awam dan seringkali terbawa arus tipuan timses dan lembaga survei dll, sehingga intinya evaluasi itu tak ada. Sistem begini tidak atau kurang bertanggung jawab.
12. Sengketa pilpres dengan membawa bertruk truk bukti penyimpangan, belum tentu diperiksa cermat oleh hakim MK, apalagi kalau hakimnya diketahui aparat hukum lainnya punya "catatan gelap" dalam karirnya dan dijanjikan jabatan tinggi atau setara setelah pensiun oleh salah satu capres yang menang atau dimenangkan.
13. Negara sebesar ini penduduknya, dan seluas ini, dg berbagai latar belakang suku, agama dll melakukan pilpres langsung merupakan experimen demokrasi luar biasa. Sistem ini mudah terjadi kecurangan dan hampir pasti hanya suku Jawa yang bisa jadi Presiden, karena jumlah pemilih yg besar di Jawa.
14. Betapapun tuduhan terhadap demokrasi ala UUD45 Asli dianggap tidak demokratis, namun faktanya hampir semua parpol, semua ormas dll melakukan pemilihan dg demokrasi perwakilan, musyawarah (voting hanya untuk keperluan teknis setelah calon hasil musyawarah disepakati), dengan dijiwai hikmah kebijaksanaan.
Tak ada parpol atau ormas yang mengundang semua pemegang kartu anggota parpol/ ormasnya datang ke bilik suara untuk memilih Ketua Umumnya. Lho kultur yang hidup dalam masyarakat kita perwakilan, musyawarah mufakat, dlm hikmah kebijaksanaan kok ujug-ujug pilpresnya sistem one man one vote di mana suara 1 orang gila sama dengan suara 1 gurubesar. Akal sehat itu dimana ?
Sistem perwakilan, musyawarah mufakat itu sukses dilakukan Muhammadiyah misalnya. Pemimpin yang lahir berkelas: KU AR Fachruddin, Prof Amien Rais, Prof Syafii Maarif, Prof Din Syamsuddin, Prof Haedar Nashir. Muhammadiyah punya PT 180-an, Sekolah dari TK hingga SLTA puluhan ribu, RS dan Klinik ribuan, anak asuh ribuan dll.
Sistem perwakilan, musyawarah mufakat ini sukses diterapkan PKS. Tanpa banyak ribut, suksesi kepemimpinan berjalan lancar, output partai meningkat, beberapa gubernur diraih.
Dulu dg sistem yg sama melahirkan politisi tangguh seperti Akbar Tanjung di Golkar. Dan banyak contoh lain.
Pada tingkatan negara lain tentu banyak contoh yang mirip perwakilan dan musyawarah mufakat, di mana prestasi negaranya maju.
Pemilihan Presiden dan PM RRC misalnya tidak rakyat langsung yang pilih tapi lewat perwakilan, meskipun tidak lewat musyawarah mufakat, namun yang terpilih pasti lewat sistem yang ketat sesuai tradisi politik dan sistem negara mereka.
15. Sistem pilpres langsung ini karena mahal maka praktis ke depannya hanya akan bisa diikuti orang orang kaya. Dan orang orang kaya atau yang dibacking orang kaya ke depan itu siapa? Silakan pikirkan untuk jangka panjang ke depan ini siapa siapa yang akan bisa jadi capres. Salah satu yg sdh berani muncul adalah konglomerat Hary Tanoesoedibjo.
Dan saya kira akan segera bermunculan HT HT yang lain. Lalu orang orang hebat dari parpol lain, kecuali keluarga SBY yg kabarnya masih kaya, atau keluarga Megawati serta keluarga Jokowi yang kabarnya sudah kaya juga. Selebihnya mungkin akan lapuk pada saatnya.
15. Kalau mau jujur sistem pilpres langsung yg diduga masuk intervensi pemodal atau bandar, hanya dinikmati hasilnya oleh segelintir aktor yang terlibat dalam skenario. Para bandar sendiri mungkin merasa belum kembali modal hanya dengan 5 tahun. Inilah yg bisa menjelaskan mengapa petahana sering terpaksa ngotot ingin jabatan kedua kali. Dan ini sangat mempengaruhi tensi pilpres. Suhu tinggi dan rawan keributan.
16. Dalam konteks Pilpres 2019 yang paling parah harus dicatat, terlepas apapun argumennya adalah apa yang diledek oleh publik fenomena macan berubah menjadi kucing. Di mana Prabowo yang dijagokan oposisi, tiba tiba berubah berdamai dg penguasa yg diduga telah bermain curang besar dlm meraih kemenangan.
Ini fenomena politik yg mungkin hanya ada di Indonesia. Dan ini menimbulkan luka hati berat pada pendukung PS yang telah berkorban lahir batin bagi perjuangan memenangkan PS. Ini juga melukai permainan demokrasi dan sekaligus menjadi stigma buruk dalam praktik demokrasi liberal di Indonesia.
Tulisan ini disajikan dengan maksud mari kita sama sama evaluasi sistem ketatanegaraan khususnya sistem pilpres langsung ini kita nilai dengan jujur dan bertanggung jawab demi keselamatan Indonesia, demi hari depan anak cucu kita.
(Penulis adalah Direktur Institut Soekarno Hatta)