Erick Thohir, Inter Milan, dan Garuda

Erick Thohir, Inter Milan, dan Garuda

Gelora Media
facebook twitter whatsapp
Oleh:Abdullah Sammy

Erick Thohir mengambil keputusan tegas. Dia memecat Dirut Garuda akibat kasus penyelundupan Harley Davidson. Keputusan Erick mengundang banyak apresiasi. Lebih dari itu, langkah eks Presiden Inter Milan ini menjadi sebuah terobosan dan harapan akan fondasi kultur BUMN yang baru.

Bukan kali ini saja Erick Thohir memecat anak buahnya. Ketika menjadi presiden Inter Milan, Erick tak ragu mengirim surat PHK pada sosok seperti Frank De Boer, Walter Mazzarri, hingga Roberto Mancini. Nama-nama yang tentunya bukan sembarangan dalam pentas sepak bola dunia.

De Boer adalah salah satu legenda hidup sepak bola dunia. Sedangkan Mazzarri adalah pelatih top di Italia. Ada pula Mancini yang kini menjadi pelatih tim nasional Italia. Semua nama itu di-PHK Erick dengan pertimbangan profesional, gagal memenuhi target.

Kultur pengusaha di diri Erick membuatnya punya nyali. No guts, no glory. Sebuah prinsip yang tercermin dari sepak terjangnya di Italia.

Ketika datang pertama kali ke sepak bola Italia, Erick sudah harus melalui sesi 'uji nyali'. Kultur tradisional Italia membentuk karakter bangsa ini yang agak alergi dengan kedatangan pengusaha asing. Apalagi di dunia sepak bola yang sudah jadi agama kedua di sana.

Tapi tiba-tiba seorang pria dari Indonesia muncul dan mengambil alih salah satu klub terbesar, Inter Milan. Erick sejak awal mendapat tekanan dari publik, media, hingga rival sesama presiden klub Liga Italia.

Pada titik ini, Erick semakin membuktikan karakter yang bernyali. Penuh keberanian walau diikuti hitung-hitungan ala pengusaha.

Nyali yang dibarengi kalkulator pengusaha itu membuat dengan Erick percaya diri menetapkan target tinggi. Dia berjanji membawa Inter yang saat itu terpuruk untuk kembali ke Liga Champions dalam tempo lima tahun.

Dia membuktikan, apa yang direncanakan terimplementasi. Inter kembali ke Liga Champions pada tahun kelima kepemimpinan Erick. Meski dalam menuju target itu, Erick mesti memecat De Boer, Mazzarri, atau Mancini.

Erick tak sekadar meninggalkan Inter dengan tiket Liga Champions, melainkan pondasi klub profesional yang kokoh. Sejak awal Erick merombak pemain, staf, hingga manajemen yang lebih profesional. Hasilnya, Inter pun kini menjadi pemuncak klasemen Liga Italia dengan materi klub yang mayoritas peninggalan era Erick Thohir.

Setelah malang melintang di dunia sepak bola, Erick memutuskan kembali ke Indonesia. Negara memanggilnya untuk menduduki kursi Menteri BUMN. Presiden Jokowi lantas berpesan pada Erick untuk membawa BUMN bersaing di level dunia.

Tentu, level dunia bukanlah hal baru buat Erick. Ini berangkat dari CV Erick di Inter Milan maupun klub basket Philadelphia 76'ers. Keduanya merupakan pemain level dunia di bidangnya masing-masing.

Tapi tugas Erick kini jauh lebih berat. Sebab yang dia asuh bukanlah institusi sederhana. Yang Erick asuh adalah 142 perusahaan yang punya puluhan hingga ratusan anak-cucu usaha yang punya aset total sekitar Rp 8.092 triliun.

Erick dihadapkan pada ratusan perusahaan plat merah dengan kultur organisasi birokrasi yang telah bersemayam selama puluhan tahun. Yang kini bekerja untuknya bukan lagi sekelas Mauro Icardi atau Andre Iguodala, melainkan sebagian di antaranya akrab dengan budaya birokrasi nakal.

Namun Erick sejak awal telah memberi peringatan. Dia meminta dari level tertinggi hingga terendah di BUMN agar menjunjung tinggi profesionalisme. Erick menerapkan sebuah konsep modern di BUMN, yakni konsep New Public Management (NPM).

Sebuah konsep yang dikembangkan di Inggris oleh Cristopher Hood pada 1991. Hood memperkenalkan NPM sebagai sebuah bentuk manajemen membuat sektor pelayanan publik lebih business-like. Sektor publik yang mengedepankan etika bisnis, transparansi, dan juga berfokus pada servis terhadap costumer.

Konsep NPM ini sejalan dengan visi Erick bahwa BUMN harus lebih pada orientasi sebagai pelayan masyarakat (konsumen) yang baik. Dalam teori pengimplementasian strategi perusahaan yang baik yang dikembangkan David Norton dan Robert Kaplan (1992) lewat Balance Scorecard (BSC), elemen servis kepada kostumer adalah jembatan utama untuk menuju hasil finansial yang baik.

Namun, sebelum menuju level costumer itu sebuah organisasi harus lebih dahulu melewati proses bisnis dan kompetensi serta kapabilitas yang baik. Kapasitas dan kapabilitas ditopang dengan apa yang disebut etika (Lester: 2014).

Jadi tanpa etika, mustahil akan tercipta kapasitas dan kapabilitas yang baik. Tanpa kapasitas dan kapabilitas yang baik, mustahil tercipta proses bisnis yang baik pula. Minus proses bisnis yang baik, maka kepuasan costumer adalah hal yang nihil tercapai. Dan tanpa adanya kepuasan costumer, keuntungan finansial tak akan tercapai.

Jika dibedah secara seksama, inilah masalah yang selama berpuluh tahun terjadi di BUMN kita. Sejak dari dasar, yakni etika, kapasitas profesionalisme gagal tercapai di sektor pelayanan publik. Sehingga hal ini berimpas pada kompetensi yang tak mumpuni, proses bisnis yang buruk, kepuasan masyarakat yang rendah, hingga puncaknya hasil finansial yang lemah.

Langkah Erick yang sejak awal menegaskan persoalan etika atau akhlak, kini dia buktikan dalam kasus Garuda. Jika dibedah secara seksama kasus Garuda bukanlah sekadar kasus, tapi sebuah pesan. Pesan bagi petinggi dan segenap BUMN lain bahwa persediaan surat PHK di kantor Erick masih banyak tersedia.

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita