DRAMATURGI panggung politik terus terjadi. Ada bara dalam sekam. Apa yang tampil di depan panggung bisa berbeda dari yang terjadi di panggung belakang.
Setelah diksi berangkulan. Politik kita secara harfiah makna ruang spasial yang intim, tidak hanya berjabat tangan sebagai kesepakatan, tetapi dengan berangkulan secara erat.
Lawan jadi kawan, tapi secara bersamaan ada kawan yang berpotensi menjadi lawan. Harmoni dalam koalisi sulit untuk terus dijaga, terlebih soal kepentingan yang berbeda.
Konsep dramatisme dan dramaturgi, diperkenalkan dalam ilmu komunikasi, dengan pengandaian bahwa interaksi manusia dapat dipahami sebagai drama. Latar panggung pentas teater adalah laku kehidupan.
Para aktor memainkan peran, di depan panggung tentu berbeda dengan apa yang terjadi di belakang panggung sebelum pementasan. Semua tindakan memiliki tujuan rasional, sesuai kepentingan.
Jadi, berangkulan dan berpelukan saja tidak menyiratkan makna yang lugas. Karena peluk dan rangkul hanya menjadi penghias tampilan panggung, untuk puja-puji serta sorak sorai para pendukung.
Jarak Intim Politik
Dalam ilmu komunikasi, terdapat pula teori ruang spasial, jarak interpersonal disebut proxemics. Pada konsep tersebut, ada jarak personal, yang diasumsikan sebagai penerimaan dan pengakuan.
Pendek kata semakin dekat jarak antara dua pribadi, ruang kedekatan personal, semakin bersifat intim dalam keakraban.
Jadi berpelukan dan saling merangkul antar tokoh politik, dapat dimaknai sebagai upaya untuk mendekatkan jarak antar kepentingan. Tetapi tidak semudah itu tafsirnya, ada soal densitas dan teritori. Densitas diartikan sebagai ruang sesak, dan teritori adalah batas wilayah.
Apa maknanya? Pada suatu daerah dengan kepadatan yang tinggi, maka tingkat kesesakan semakin menjadi, batas antar teritorial kepentingan beririsan, maka definisi ruang jarak yang dekat bermakna sebagai bentuk keintiman justru tertolak.
Refleksinya, koalisi politik yang semakin gemuk, membuat kawan koalisi semakin sesak, sulit bergerak, berangkulan dan berpelukan bukan pilihan dan pertanda persetujuan, bisa jadi isyarat berbeda manakala ruang kekuasaan tidak terbagi merata.
Mungkin masih mengingat soal keringat kampanye yang belum lagi kering. Tapi itulah politik praktis kita hari-hari ini, dinamikanya sangat cair dan bergerak berdasarkan intuisi mengejar kekuasaan.
Tamparan Wajah Politik
Dramaturgi dan ruang intim itu berhadapan dengan upaya negosiasi wajah. Maka ketika aktor politik tengah berbicara soal mencari muka atau sekaligus menampar wajah. Sebagai akibat usulan politik untuk pengajuan tambahan bagi waktu kekuasaan, maka tafsirnya menjadi berbeda.
Format face negotiation theory adalah satu bagian dari ilmu komunikasi yang dapat menjelaskan dan telah dikembangkan, dengan menempatkan muka atau wajah sebagai identitas kultural, baik menjadi simbol individu ataupun identitas kelompok.
Maka diksi dari kalimat menyelamatkan wajah, ataupun mencari muka, adalah bagian dari bentuk episode konflik. Pun hal ini terjadi di ranah politik. Mudah dipahami, bila periode kampanye adalah masa etalase dengan tampilan wajah ramah senyum.
Dengan begitu, bagi aktor politik, kompromi dalam wajah yang tersenyum secara simbolik, adalah sebuah hal yang temporal, sifatnya jangka pendek.
Titik persambungan dari beberapa teori tersebut seolah saling terkait, para aktor memainkan peran, membangun ruang jarak yang hangat dan ideal, dengan menggunakan selubung peran, yang ditampilkan dengan menggunakan topeng-topeng wajah.
Politik rangkul tampar adalah gambaran pragmatisme dalam upaya menuju kekuasaan. Permainan peran, di panggung politik dimainkan seolah mengabaikan kemampuan dan kecerdasan publik dalam membaca gerak laku sandiwara. Tentu membosankan.
Wajah asli para aktor politik akan terkuak, seiring dengan keberadaan kekuasan. Sebagaimana, Abraham Lincoln sampaikan, "Jika Anda Ingin Menguji Karakter Seseorang, Maka Berilah Dia Kekuasaan".
Penulis tengah menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid