GELORA.CO - Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas menilai beberapa kebijakan pemerintah tidak hanya melakukan kekerasan dalam mengekang kebebasan pendapat, tapi belakangan ini justru menjadi bentuk kekerasan politik.
Ia mencontohkan, salah satunya adalah mengenai Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 13 November 2019.
Dalam aturan tersebut, Menteri Agama mengharuskan majelis taklim mendaftarkan diri dan mendapat sertifikasi, baik pengurus, ustaz, jemaah, tempat serta materi ajar.
"Dulu zaman orde baru ada SIM, surat izin mubalig," kata Busyro kepada wartawan saat ditemui di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Senin (2/12).
"Sekarang diulang, diulang dengan sertifikasi, majelis taklim," tambah dia.
Menurutnya hal itu memantik tumbuhnya radikalisme dan juga reaksi dari sebagian besar umat. Dari hal lain, tindakan-tindakan pemerintah pun juga dinilai menguatkan radikalisme sebagai bentuk kekerasan dalam berpolitik.
Selain itu, ia juga mencontohkan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh 12 Kementerian mengenai penanganan radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Ini kan bentuk-bentuk yang sesungguhnya memantik radikalisme," ujar mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Dalam hal ini, kata Busyro, seharusnya pemerintah melakukan diskusi dengan masyarakat sebelum menerbitkan suatu kebijakan atau langkah strategis dalam bernegara.
"Juga kekerasan politik dalam bentuk yang lain, misalnya mengingkari reformasi, [memunculkan wacana] presiden tiga periode," ujarnya. [cnn]