GELORA.CO - Keseriusan pemerintah dan DPR RI tehadap Pilkada yang berintegritas dipertanyakan lantaran tidak adanya upaya untuk melarang koruptor menjadi kepala daerah.
Hal ini berkenaan dengan tidak adanya ketegasan larangan koruptor ikut Pilkada dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 18/2019.
Menurut Jurubicara KPK, Febri Diansyah, sejatinya KPU sudah berupa membatasi hak narapidana kasus korupsi berpolitik, dalam hal ini menjadi kepala daerah. Namun, upaya tersebut kandas usai Mahkamah Agung (MA) membatalkan peraturan yang telah dibuat KPU.
Dan salah satu pertimbangan pada saat itu adalah karena soal pembatasan HAM," ucap Febri Diansyah kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa malam (10/12).
Persoalan ini pun dianggap berada pada keseriusan pemerintah dan legislatif sebagai pembuat UU. Jika serius membatasi terpidana kasus korupsi berpolitik, jelasnya, Presiden Joko Widodo dan DPR-lah yang harusnya membuat Undang-Undang pembatasan.
"Jadi kalau kita bicara soal merumuskan Pilkada berintegritas, bolanya ada di tangan Presiden dan DPR. Misalnya membatasi calon terkait dengan narapidana kasus korupsi, itu di sisi pembentukan peraturan perundang-undangan (di tangan DPR dan pemerintah)," sambung Febri.
Diketahui, KPU telah mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) yang tidak melarang koruptor untuk maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Hal itu tercantum pada PKPU 18/2019 tentang Perubahan kedua Atas PKPU 3/2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. PKPU itu ditetapkan pada 2 Desember 2019.
Terkhusus pada Pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi. Isi Pasal 4 ayat H tersebut masih sama dengan aturan sebelumnya, yakni PKPU 7/2017 mengatur larangan bagi mantan terpidana narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.(rmol)