GELORA.CO - Sulit bagi pemerintahan Joko Widodo mencapai pertumbuhan ekspor yang tinggi tahun depan karena komoditas serta produk manufaktur Indonesia kurang kompetitif dan sulit menghadapi produk manufaktur China.
Belum lagi China menggunakan strategi moneter dengan melemahkan nilai mata uang RMB terhadap dolar AS dalam rangka perang dagang.
Hal lain yang membuat Indonesia akan kesulitan, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono, adalah pelambatan ekonomi di negara-negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia
Arief yang pernah malang melintang di sejumlah BUMN dan pernah menjadi pramugara Merpati itu mengatakan, kesulitan ini dapat dilihat dari penurunan ekspor Indonesia sejak 2018 yang akan terus berlanjut dan membuat neraca perdagangan terus defisit.
“Selama delapan bulan di tahun 2019, ekspor Indonesia mengalami penurunan 8,28 persen menjadi 110,07 miliar dolar AS dibandingkan periode yang sama di tahun 2018,” sebutnya.
Dia juga mengingatkan, dalam hal investasi langsung, Indonesia kurang menarik dibandingkan sejumlah negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Indikasinya adalah relokasi 33 perusahaan China ke dua negara itu.
“Ini situasi yang menampar pemerintahan Kang Mas Jokowi yang selama ini giat dan bangga dengan investasi yang telah dicapai,” katanya dalam perbincangan dengan redaksi.
Dalam banyak kesempatan, Jokowi menyampaikan berbagai instruksi untuk memperbaiki iklim investasi melalui sejumlah rancangan undang-undang seperti ketenagakerjaan dan lahan.
Namun menurut Arief Poyuono, ada dua strategi pemerintah harus pula dikaji ulang, yakni efisiensi belanja dan pengeluaran pemerintah yang memprioritaskan belanja produk yang dibuat di dalam negeri, serta peningkatan konsumsi publik dengan program bantuan dari pemerintah seperti Kartu Siap Kerja, pembagian raskin dan lain sebagainya.
Faktor lain yang akan makin menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga di kisaran 4,7 persen pada tahun 2020 adalah pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia masih akan terbatas hingga 2020. Para bankir harus berhati-hati untuk menawarkan pinjaman, menjaga kualitas aset mereka, dan memperkuat modal sehingga inventasi baru yang dilakukan pengusaha lokal nasional akan menurun draktis.
Di sisi lain, para pelaku bisnis harus mengencangkan ikat pinggang mereka serta bertahan dengan strategi efisiensi biaya operasional yang salah satunya adalah dengan mengurangi atau merumahkan karyawan. Akibatnya, akan banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan dan berdampak pada penurunan daya beli mereka.
“Selama lima tahun terakhir kontribusi konsumsi publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di kisaran 56 sampai 57 persen. Sementara itu, kontribusi pengeluaran pemerintah berada pada kisaran 12 sampai 13 persen dari PDB. Potensi perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta sudah terlihat,” urai Arief Poyuono menjelaskan lebih lanjut.
Dia juga mengatakan, BUMN yang selama periode pertama pemerintahan Jokowi digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pada periode kedua malah dikelola seperti parpol yang baru munas oleh Menteri BUMN Erick Thohir.
Dengan ini semua, secara umum sulit mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen. Malah bisa terancam amsiong.
“Semoga ya Kang Mas, winter ekonomi global tidak membuat otak pembantu Kang Mas pada beku atau mengingil,” demikian Arief Poyuono. []