Oleh: Kunthi Mandasari
(Pemerhati Generasi, Member AMK)
Menikah menjadi impian setiap orang. Bersanding bersama pujaan di pelaminan dengan menggunakan konsep pernikahan impian. Tetapi, bersatunya dua insan manusia tidak akan semudah dalam angan. Sebab sertifikat pranikah akan menambah daftar panjang perjuangan menuju pelaminan.
Dilansir dari Liputan6.com, 12/11/2019, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mendorong penerapan sertifikat pranikah untuk calon pengantin baru. Sertifikasi rencananya mulai diterapkan pada 2020.
"Setiap siapapun yang memasuki perkawinan mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan berkeluarga, terutama dalam kaitannya dengan reproduksi. Karena mereka kan akan melahirkan anak yang akan menentukan masa depan bangsa ini," kata Muhadjir di SICC, Bogor, Jawa Barat, Rabu 13 November 2019.
Masih menurut Muhadjir, bagi pasangan yang belum lulus sertifikasi tidak diizinkan untuk menikah. Tentu kabar ini menyulut kekhawatiran tersendiri. Mengingat banyak hal yang perlu dilalui untuk sampai di titik ini. Mulai dari penantian panjang, restu orang tua, ribetnya administrasi, adat-istiadat, standar resepsi yang harus megah dan masih banyak lainnya yang harus dilalui.
Padahal pernikahan adalah sebuah aktivitas ibadah guna menggenapkan separuh agama. Sebuah jalan mulia untuk melestarikan keturunan. Sudah seharusnya diberikan kemudahan untuk melaksanakannya. Bukan sebaliknya.
Di sisi lain aktivitas untuk bermaksiat justru difasilitasi. Berbagai media bebas menjajakan budaya sekuler liberal. Mulai dari membuka aurat hingga kumpul kebo yang bebas dikonsumsi. Semuanya mudah diakses. Lambat laun pola hidup sekuler liberal ditiru dan tersebar dimana-mana menjadi gaya hidup kekinian.
Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang jatuh pada kubangan maksiat. Hamil di luar nikah menjadi hal yang lumrah, alat kontrasepsi bisa diakses dengan mudah bahkan aborsi kini mulai difasilitasi. Dan RUUP-KS yang menuai kontroversi menjadi alat mengukuhkan gaya hidup liberal.
Memang, maksud aturan ini adalah baik. Yaitu untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik. Dengan memastikan kesehatan calon pasutri, pemberdayaan ekonomi serta menekan angka perceraian. Tetapi, pemberlakuan aturan sertifikat pranikah tidak dapat menjadi sebuah jaminan. Serta akan menjadi jalan borosnya anggaran APBN untuk merealisasikan.
Tingginya angka perceraian dan berbagai krisis kehidupan multidimensional (kemiskinan, kebodohan, kezaliman, kemerosotan moral, ketidakadilan dan sebagainya) hanyalah efek dari penerapan sistem kapitalis. Sistem buatan manusia yang serba terbatas. Sayangnya sistem ini justru terus dipelihara. Seharusnya bukan pernikahan yang memerlukan sertifikat layak uji, tetapi sistem kapitalis ini. Apakah sistem kapitalis sudah memenuhi standar sertifikat layak pakai? Setelah terbukti gagal dari berbagai aspek penerapannya.
Islamlah satu-satunya sistem yang telah mendapatkan sertifikat layak pakai dari Sang Pencipta. Agama yang telah sempurna dan juga agama yang diridhoi.
Sebagaimana Allah Swt. Berfirman:
“ ... Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. al-Ma’idah: 3).
Jika Allah Sang Maha Pencipta telah memberikan jaminan kesempurnaan Islam. Masih pantaskah kita meragukannya? Sesungguhnya keberkahan hidup hanya bisa diperoleh ketika manusia bertakwa.
Seperti yang dijanjikan Allah Swt. dalam firmanNya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. al-A’raf: 96).
Kunci keberkahan hidup hanya bisa diperoleh melalui jalan takwa. Dan ketakwaan secara berjamaah hanya bisa dilakukan ketika Islam diterapkan melalui negara. Wallahu'alam bishowab. []