GELORA.CO - PERTUMBUHAN ekonomi Indonesi bergerak melemah. Angka PDB Indonesia kian melambat. Dari 5,2 persen pada 2018 menjadi 5 persen di 2019. Bahkan, angka tersebut lebih rendah dari prediksi April lalu, yakni 5,1 persen.
Melambatnya perekonomian Indonesia diperkuat pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Ia mengakui bahwa penerimaan negara masih dalam kondisi sulit. Hingga akhir September 2019 atau kumulatif, beberapa realisasi penerimaan pajak dari industri pengolahan turun 3,2 persen menjadi Rp 245,6 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Realisasi penerimaan pajak dari sektor konstruksi dan real estat turun 1,2 persen atau menjadi Rp 56,2 triliun.
Selanjutnya, sektor pertambangan yang turun 20,6 persen menjadi Rp 43,2 triliun. Sedangkan sektor perdagangan menyetor Rp 176,2 triliun atau melambat 2,8 persen. Lalu sektor jasa keuangan dan asuranai melambat 4,9 persen menjadi Rp 120,6 triliun. Hanya sektor transportasi yang penerimaannya tumbuh 18,9 persen menjadi Rp 36,3 triliun.
Sri Mulyani mengatakan ketidakpastian global memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia. Penerimaan negara semakin seret setelah PNPB mengalami penurunan signifikan yaitu 9,5 persen. Tak hanya sektor industri dan defisit neraca perdagangan, lesunya ekonomi juga ditandai dengan masalah ekonomi lainnya. Yaitu besarnya angka pengangguran di Indonesia.
Bahkan Indonesia menduduki peringkat kedua tingkat pengangguran terbuka se-Asia Tenggara. Ekonomi Indonesia tak lebih baik dari Laos, Kamboja, dan Papua Nugini. Meski angka pengangguran cenderung menurun, namun data BPS menyatakan tercatat 5,01 persen penduduk produktif yang menganggur.
Padahal Indonesia beberapa tahun mendatang akan menghadapi kondisi krusial bonus demografi. Jumlah penduduk produktif mencapai 24 persen atau 63, 4 juta dari 179, 1 juta jiwa usia produktif. Tak bisa dibayangkan bila angka pengangguran ini terus meningkat saat Indonesia menghadapi bonus demografi. Tentu akan menimbulkan masalah ekonomi yang kian mengkhawatirkan.
Tingkat pengangguran terbuka banyak dihuni pelajar SMK. Angka pengangguran lulusan SMK mencapai 10,42 persen. Banyaknya sekolah SMK ternyata tak menjamin lulusan bermodal keahlian teknis akan terserap sebagai tenaga kerja industri. Betapa ironi, di saat negeri ini sedang gencarnya membuka keran investasi, malah tak berdampak positif bagi penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Pemberdayaan ekonomi kreatif dan UMKM adalah salah satu indikator negara berlepas diri dari perannya. Menggenjot ekonomi rakyat demi menutupi kegagalannya memenuhi hajat hidup rakyat. Rakyat diminta mandiri dan kreatif berwirausaha. Sementara negara justru memberi karpet merah bagi investasi asing di negeri ini. Toh, investasi asing itu juga tidak berdampak positif bagi rakyat. Lapangan kerja sempit, pengangguran malah banyak. Bahkan gelombang PHK membayangi rakyat.
Belum lagi masalah kemiskinan dan kelaparan. Asian Development Bank melaporkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan. Kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi terus menurun. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian menyerap lebih lambat tenaga kerja. Meski tren produksi pangan meningkat, namun distribusi yang tidak merata menjadi masalah serius. Yaitu kerawanan pangan dan potensi penimbunan pangan oleh kartel-kartel pangan. Kapitalisasi pangan seringkali terjadi saat terjadi kelangkaan pangan. Hal ini bisa dilihat dari naik turunnya harga kebutuhan pokok di pasar.
Persoalan impor juga masih menjadi PR besar pemerintah. Swasembada pangan yang dicita-citakan seperti mimpi yang tak terwujud. Bagaimana mau swasembada pangan bila lahan pertanian terus berkurang karena disulap menjadi tol-tol panjang? Bagaimana mau menyejahterakan petani bila semua hal terkait produksi pertanian saja impor? Dari mulai bibit yang mahal hingga cangkul pun menjadi komoditas barang impor. Adakah komoditas di negeri ini yang tidak impor? Hampir semua komoditas pangan kita impor dari negara lain. Kaya tanah subur tapi tak merasa punya. Kaya SDA tapi tak memilikinya.
Beginilah nasib terikat sistem kapitalis liberal. Jika sistemnya memperlemah kemandirian bahkan kedaulatan negara, apa gunanya? Yang ada ekonomi makin payah di bawah payung kapitalisme. Sejatinya, investasi asing tidaklah seindah yang diharapkan. Investasi justru menjadi jalan tol asing menguasai aset strategis. Rakyat pun hanya menjadi SDM siap kerja alias siap menjadi buruh bagi mereka. Penguasanya tetaplah para pengusaha kapital. Adakah sejauh ini investasi berdampak baik bagi rakyat kecil? Adakah investasi asing menjadikan Indonesia makin mandiri dan berdaya secara ekonomi? Big No!
Melepaskan diri dari penjajahan kapitalisme sangat sulit. Selama negeri ini masih saja mengekor dengan berbagai kebijakan pro kapitalis liberal. Bahkan memberi angin segar dengan memudahkan perizinan usaha semacam ingin menghapus IMB dan AMDAL. Wacana itu disampaikan Menteri ATR Sofyan Djalil.
Dia menginginkan agar usaha di Indonesia dimudahkan. Bukankah hal ini justru memberi kabar gembira bagi asing? Ada persyaratan IMB dan AMDAL saja mereka banyak tingkah bahkan terkesan melanggar aturan. Bagaimana jadinya bila syarat IMB dan AMDAL dihapus? Makin muluslah jalan mereka.
Tanpa IMB dan AMDAL asing bakal makin merdeka. Sifat kapitalis itu rakus. Tak peduli dampak lingkungan atau kenyamanan warga. Mereka hanya peduli manfaat saja. Mereka hanya berpikir untung rugi saja. Tidak ada yang lain.
Lebih baik pemerintah berpikir ulang dalam mengambil setiap kebijakan. Jangan sampai negeri ini tergadai di tangan penguasa dan pengusaha yang tak peduli dengan nasib rakyat sendiri. Tegaslah dan beranilah. Itulah yang diharapkan rakyat. Bisa?
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban.(rmol)