GELORA.CO - Pemerintah dan aparat sepertinya cuek dan terkesan melakukan pembiaran terkait dugaan kasus penistaan agama yang semakin marak di negeri ini.
Dosen UI Ade Armando pernah mengatakan tidak perlu lagi menghafal Al Quran di jaman digital saat ini. Dia juga meminta perguruan tinggi negeri tidak diskriminatif dengan hanya menerima kepada penghafal Al Quran. Tidak sampai disitu, penghafal Al Quran disebutkannya tidak berkaitan dengan tingkat kecerdasan.
Terbaru, Sukmawati Soekarnoputri dilaporkan ke Polda Metro Jaya lantaran membuat pernyataan yang membandingkan Proklamator Sukarno dengan Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, Sukmawati juga pernah dilaporkan atas kasus dugaan penistaan agama soal azan dan cadar. Namun, polisi akhirnya menerbitkan SP3 karena mengaku tidak menemukan unsur pidana.
Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Anton Tabah Digdoyo mengatakan, sejak Orde Baru sampai era reformasi masa Presiden SBY, pemerintah selalu sigap dan cepat menangani kasus penistaan agama. Alasannya, karena derajat keresahan umat sangat tinggi.
Era Orba yang menonjol adalah kasus Arswendo yang membuat polling di Tabloid Monitor, siapa tokoh yang berpengaruh. Dia meletakkan dirinya di atas nama Nabi Muhammad SAW. Arswendo pun akhirnya dipenjara maksimal 5 tahun tanpa remisi. Sedangkan di era SBY, ada dua kasus yaitu Lia Eden yang mengaku Malaikat Jibril dan Ahmad Musadeq yang mengaku Nabi. Dua-duanya diproses cepat dan dipenjara 3 tahun.
"Lha, di era Jokowi ini ada satu kasus yang nonjol yaitu Ahok bilang jangan mau ditipu Al Quran. Ini kasus sangat berat tapi nyaris tak tersentuh hukum lalu muncul aksi 411 dan 212," ujar Anton Tabah saat dihubungi redaksi, Sabtu (16/11).
"Dan saya sebagai angota polisi merasa terpanggil menjelaskan bahwa kasus Ahok sangat berat. Saya ketika komandan Kota Jogja memproses kasus Pak Permadi beliau cuma bilang bahwa dirinya tak beragama, itupun bisa diproses sebagai penista agama dan divonis 2 tahun. Apalagi Ahok. Alhamdulillah Ahok berhasil dipidana walau tak maksimal, penuh keringanan dan keanehan, bahkan dapat remisi pula hal yang tidak pernah diberikan pada terpidana penista agama sebelumnya," tuturnya menambahkan.
Menurut Anton Tabah, dari kasus Ahok ini sepetnya rezim ini terus menggulirkan bahwa umat Islam tidak bhinneka, intoleran dan radikal. Bahkan rezim ini sengaja mencap sebagai radikalisme pada umat Islam, dengan simbol penampilan seperti cadar, celana cingkrang, pakaian gamis dan berjenggot.
"Pokoknya semua radikal hanya untuk orang Islam. Tidak ada radikal sekuler, radikal liberal, radikal kapitalis, radikal pakaian nyaris telanjang, radikal utang, radikal KKN, radikal Islamophobia, radikal etika, radikal nepotisme dan lain-lain yang lebih berbahaya menghancurkan NKRI. Radikal etika, apabila Jokowi memberi jabatan publik pada mantan terpidana yang kini ditengarai terindikasi korupsi di beberapa kasus (Ahok bakal jadi pimpinan BUMN). Radikal nepotisme konon kabarnya Jokowi memaksakan anaknya (Gibran Rakabuming Raka) untuk ikut Pilkada Solo," imbuhnya.
Anton Tabah lalu teringat pada awal-awal reformasi. "Awal-awal reformasi Dr. Ilham Akbar Habibie putra Presiden BJ Habibi menjabat di perusahaan pesawat PTDI saja dicopot dengan alasan nepotisme, padahal dia satu-satunya ahli pesawat lulusan Jerman. Kini era Jokowi juga pembiaran terhadap nepotisme," lanjutnya.
Anton Tabah yang juga pengurus MUI Pusat ini mengingatkan, jika rezim Jokowi melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus penistaan agama termasuk pembiaran KKN, sama saja dia memasang bom waktu yang akan meledak dahsyat meluluhlantakkan rezim yang berkuasa.
"Ingat, penistaan agama masuk crime index sangat serius hingga Indonesia punya UU khusus selain KUHP dan fatwa MA agar hakim memvonis optimal penista agama. Dan terhadap kasus penistaan agama harusnya aparat langsung bertindak, tidak usah nunggu laporan dari masyarakat karena itu bukam delik aduan, delik umum polisi harus langsung memproses hukum," pungkas mantan Jendral Polri ini. (Rmol)