Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
‘’Waspadalah kepada kaum sarungan!’’ Ungkapan ini diteriakan salah satu elite PNI Jawa Tengah pada dekade awal 1960-an. Bagi orang yang sudah melek politik saat itu pasti akan tahu apa maksud ujaran itu.
Dan memang benar saat itu udara politik kekuasaan sangat panas. Dekrit Presiden 1959 beberapa tahun sebelumnya sudah diputuskan. Namun, dekrit ini tetap memancing Islamphobia yang sudah muncul sejak zaman kolonial: di mana Islam politik harus diberangus dan membiarkan Islam hanya sebagai sarana ibadah saja. Ini pun semakin masuk akal karena dekrit itu secara tegas menyatakan bila Piagam Jakarta masih menjadi acuan atau semangat dekrit yang menyatakan kembali ke UUD 1945 itu.
Suasana ini jelas makin ruwet. Tak berapa lama Partai Masyumi sebagai partai terbesar kedua dalam Pemilu 1955 menemui ajal. Dia ditamatkan oleh keputusan Presiden Soekarno meski sempat sebelumnya bertemu para petingginya makan-makan dan ngobrol di Istana Negara. Tak hanya Masyumi, partai lain yang kritis kepada kekuasaan, seperti Partai Sosialis Indonesia dengan tokohnya Sutan Syahrir, pun ikut dibubarkan pula.
Alhasil, kini presiden terkesan berkuasa mutlak. Dia begitu bebas mengangkat siapa yang jadi pejabat dan menggantinya sesuai selera. Tanpa sadar muncul kesan politik ‘belah bambu’. Semua harus mengacu pada Nasakom. Siapa yang enggan —bahkan tak sepakat— diangap kontrarevolusi, budak barat dengan jargon: Amerika kita setrika Inggris kita linggis. Yang anti 'Nasakom' dianggap pula sebagai si-kepala batu yang harus disingkirkan. Sosialisme pasti jaya.
Dan jargon atau pomeo ‘waspada kepada kaum sarungan’ itu menggelak ke mana-mana. Siapa yang ditujunya? Saat itu semua paham yang disasar adalah kekuatan Islam politik, terutama para kader dan aktivis Masyumi yang baru dibubarkan. Mereka dituduh terus saja akan bergerilya agar bisa kembali ke Piagam Jakarta yang di sana ada frase ‘melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya’. Tak hanya itu mereka juga dituduh sebagai pelanjut gerakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwirya yang dahulu teman kost Soekarno ketika tinggal di rumah HOS Cokroaminoto di sebuah rumah di bilangan Jalan Paneleh, Surabaya.
Kemudian selain Hersubeno siapa lagi yang paling getol menyerukan waspada kepada kaum sarungan? Jawabnya ada. Dia adalah Ketua Umum Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Pada masa itu, di depan acara hari ulang tahun PKI yang dihadiri ribuan massa yang memadati Stadion Gelora Senayan (sekarang gelora Bung Karno) Aidit dengan gagah menyerukan kembali pameo itu kepada kadernya. Dia mengatakankembali soal itu untuk menyindir kadernya bila tidak mampu membubarkan HMI yang dianggap seteru paling berbahaya organisasi sayap kaum mudanya: Pemuda Rakyat.
’’Lebih baik kalian pulang ganti pakai baju perempuan dan pakai sarung kalau tidak bisa bubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sangup !?,’’ kata Aidit ketika berpidato saat itu
Dan memang saat itu diam-diam antara Aidit dan Bung Karno terjadi perseketuan politik yang ganjil. Meski keduanya beda paham, terlihat saling memanfaatkan keadaan, yakni demi kelanggengan kekuasaan serta tujuan politik lainnya. Aidit pun sangat paham itu, Bung Karno juga paham akan itu. Ini persis dengan jargon abadi politik: ‘Tak ada lawan dan kawan abadi dalam politik. Yang abadi hanya kepentingan!’
Adanya seruan waspada kepada kaum sarungan umat Islam pun siaga. Dari cerita para senior aktivis dan ketua umum PB HMI seperti Sulastomo dan Ridwan Saidi, mereka mengatakan saat itu memang melawan akan kecenderungan tuduhan pejoratif itu. Istilah katanya: mereka merapatkan barisan atas munculnya ‘udara politik kekuasaan’ yang tak kondusif. Mereka tahu jelas kepada siapa dan arah dari seruan ‘waspada terhadap kaum sarungan’.
Nah, bersamaan dengan semaki populernya jargon itu tiba-tiba muncul semacam radikalisasi. Di mana-mana muncul konflik. Tak hanya perang kata malah mulai muncul kekerasan mulai dari perebutan tanah dan lahan kebun tebu hingga percekcokan politik. Tokoh Masyumi Buya Hamka, Mr Moh Roem, dan lainnya masuk bui tanpa pengadilan. Dan ujung dari konflik ini adalah mencapai puncak dalam tragedi berdarah pemberontakan G30S/PKI. Masa rakyat saling bunuh.
Ketika zaman sudah berlalu, di dekade tahun 1980-an juga keluar pomeo yang ‘serupa meski tak sama’. Sebagai imbas revolusi Islam Iran pada tahun 1979 di masyarakat muncul gairah ke Islam yang kencang. Tak hanya berbagai pengajian yang muncul, Muslimah perempuan getol memakai jilbab.
Celakanya, kegairahan ber-Islam dengan berjilbab di pandang negatif oleh kekuasaan. Maka muncul berbagai tindakan pejoratif —bahkan persekusi— kepada mereka yang berjilbab. Kasus pelajar putri yang dikeluarkan dari sekolah mulai muncul. Muncul kisah ‘aneh-aneh’ yang tersebar misalnya kisah jilbab beracun.
Uniknya dalam waktu bersamaan muncul juga organisasi yang membawa ide berjuang membawa kekerasan, misalnya Komando Jihad (Komji) yang dipimpin anak muda tamatan SMA asal Medan, Imron. Kemudian muncul berbagai tindakan pengeboman dari bank hingga candi borobudur yang dikaitkan dengan mereka. Bahkan ada yang sangat menghebohkan yakni terjadinya pembajakan pesawat Garuda Woyla yang tengah terbang dari Jakarta ke Palembang. Pesawat ini dibajak dan di terbangkan hingga ’nyelonong jauh’ ke Bandara Don Muang, Thailand.
Pada kurun yang sama juga muncul tragedi berdarah Tanjung Priok. Tiba-tiba kerusuhan meledak di dekat pelabuhan Jakarta itu. Awalnya hanya konflik yang dipicu dari kemarahan biasa karena ada Babinsa masuk masjid tanpa copot sepatu. Saat itu dia ‘kebelet’ memberangus poster yang terpasang di dinding masjid yang dianggap tak sesuai dengan idiologi bangsa, Pancasila. Poster itu dianggap tak sejalan dengan rezim tengah gandrung asal tunggal Pancasila.
Maka dari sanalah api kerusuhan mulai makin besar. Meski dari pandangan berbagai orang api dalam sekamnya adalah soal represi kepada umat Islam, terutama akibat lanjutan dari sikap rezim yang memberangus pihak mengkritisi pemerintah yang tergabung dengan Petisi 50. Di sana ada sosok sangat terkenal yakni AH Nasution, M Natsir, Ali Sadikin, Hartono, dan lainnya. Tak hanya itu kelompok ini dikaitkan dengan kerusuhan Tanjung Priok karena di sana ada sosok seperti AM Fatwa. Khusus pada kasus ini selain banyak orang yang terbunuh, banyak juga yang sampai sekarang hilang. Namun, meski sudah dibentuk khusus pencari fakta oleh Komnas HAM seusai datangnya reformasi 1988, kejelasan kasus ini tetap abu-abu.
Meski terkesan kuat Islam polotik disudutkan, pada saat itu gairah ke Islaman dan berjilbab oleh perempuan Muslim, tak bisa dicegah bahkan meluas. Perlahan tapi pasti malah semakin massal. Kemudian muncul lagu top yang dinyanyikan kugiran musik asal Bandung: Tri Bimbo. Melalui nyanyian pop yang syairnya di tulis Taufiq Ismail,’Aisyah Adinda Kita’ berhasil memompa semangat para Muslimah berjilbab. Di Jogjakarta, budayawan Emha Ainun Nadjib membuat pertunjukan kolosal teater yang bertajuk 'Lautan jilbab'. Pentas ini sukses besar. Selain tonton ribuan orang, pentas ini menyedot perhatian publik ketika ditampilkan di berbagai kota.
‘’Sebelum pentas ini orang berjilbab masih sedikit. Kami membangkitkannya. Sekarang hampir semua Muslimah terbiasa dengan jilbab. Ini luar biasa. Jilbab ada di mana-mana,’’ kenang Emha dalam sebuah perbincangan.
Nah, bila masa kini ada keributan wacana soal pelarangan celana cingkrang bahkan cadar, maka bila berpaling dalam sejarah, semua pihak tak perlu resah dan heran. Itu hal biasa dan terus berlangsung dari waktu ke waktu. Tak hanya jilbab dan celana cingkrang atau pakaian Muslim lain, dahulu juga ada soal pelarangan celana ketat ala The Beatles, Cut Bray ala Grup Rock, hingga celana jeans robek-robek ala kaum Gipsy. Maka santailah. Biasa sajalah biar sejarah yang akan mencatat apa yang nanti akan terjadi.
Meski begitu, menyadari potret sejarah akan adanya imbas buruk terhadap berbagai fenomena 'pejortif' itu, harapannya adalah di kemudian hari akhirnya suasana keterbelahan ini tidak memuncak pada munculnya berbagai aksi kekerasan yang brutal. Cukup tragedi 1965, pembajakan pesawat, Tragedi Tanjung Priok, Haur Koneng (kekerasan berdarah pada sebuah komunitas yang ingin melaksanakan syariat Islam di Lampung pada 1990-an) saja yang terjadi. Jangan sampai terulangi.
Sekali lagi, semoga tak muncul lagi lagu yang menyayat seperti lagu 'An Nisa' karya Iwan Fals yang tak pernah dirilis atau jadi album rekaman. Lagu ini berkisah soal suasana ketakutan dalam masyarakat Tanjung Priok dan suasana politik kekuasaan pada tahun 1980-an itu.
(*)