Oleh Margarito Kamis
Hari-hari ini hangat dan intens betul gagasan-gagasan tak terkoordinasi penguatan sistem presidensial Indonesia. Sama hangat dan intens dengan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Gagasan tak tercerahkan ini terus muncul secara acak. Semuanya membuat landscap politik mutakhir terlihat begitu menarik. Biasakah landscap ini dalam kehidupan politik? Mungkin ya.
Membekali presdien dengan setumpuk kekuasaan negara, merupakan inti gagasan presidensialisme. Bagus? Tunggu dulu. Mengapa? Dua hipotesis berbeda harus diperiksa secara seksama. Hipotesis presiden sebagai orang baik, ratu adil, bapak dari seluruh orang dalam sebuah negara, terbukti dipangungh sejarah tak valid. Signifikansinya praktis tidak ada. Ini hipotesis Indonesia.
Hipotesis kedua tipikal Amerika. Hipotesisnya presiden punya ambisi pribadi, bisa menjadi tiran, dan korup. Hipotesis ini teruji di sepanjang sejarah presidensialisme. Hipotesis itu membawa para pembentuk UUD AS pada konvensi Philadelphia merancang secara hati-hati, penuh kesadaran masa jabatan presiden dan cara presiden dipilih.
Sejarah membawa siapapun pada kenyataan pemerintahan presidensial sepenuhnya kreasi Amerika. Sistem ini diciptakan oleh pembuat UUD AS pada tahun 1787. Seperti pembentuk UUD 1945 dahulu, pembentuk UUD AS arif, bijak dan memiliki pengetahuan sejarah yang hebat. Mereka tahu, dalam batas yang sangat produktif bagaimana pemerintahan-pemerintahan sebelumnya dibelahan dunia lain.
Pengetahuan mereka tentang sejarah monarki, membawa mereka ke satu titik. Titik itu adalah “waspada dan curiga.” Mereka waspada dan curiga pada kekuasaan yang menumpuk pada seseorang, single person. Kewaspadaan dan kecurigaan terlihat nyata pada perdebatan tiga isu. Pertama, apakah jabatan presiden bersifat tunggal, dipegang oleh seseorang – singglr person- atau jamak dan pembatasan masa jabatan presiden.
Kedua, kekuasaan presiden pun harus dibatasi, ditentukan jangkauannya. Ketiga, cara mengisi jabatan presiden harus tepat. Isu utamanya apakah presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh legislatif. Semua isu ini penting, tetapi isu tentang masa jabatan dan cara mengisi menjadi dua isu yang berkali-kali dibahas. Semuanya terekam secara mengagumkan dalam A Brililant Solution, Inventing the American Constitution dari Carol Berkin, professor sejarah politik Amerika dari Baruch of College. Sarinya terlihat pada uraian selanjutnya.
Hebat, sebelum lebih jauh berdebat mengenai isu-isu di atas, mereka berhasil menyepakati tujuan esensial konvensi. Esensinya adalah membentuk pemerintahan model baru, dan pemerintahan nasional yang efektif. Ini dicapai pada rapat kedua tanggal 30 Mei 1787. Pada rapat ini pulalah ide presiden sebagai eksekutif tunggal muncul dan diperdebatan, dengan ide dan gagasan yang menurut saya melampaui zaman mereka.
Ide eksekutif tunggal –singgle person in executive office- dalam penilaian Randolph, delegasi Virginia, meniru sistem pemerintahan Inggris. Randolp, karena itu menolak ide eksekutif tunggal. Lebih jauh Randolph dalam kata-katanya menyatakan a singgle executive was nothing less that “the foetus of monarchy.” Eksekutif yang independen dari legislatif, dalam gagasan Rogers Sherman, menurut Randolph memiliki esensi sebagai tirani.
Tetapi pandangan ini segera disanggah James Wilson. Baginya itu bukan bayi monarki, tetapi benteng melawan tirany. Alexander Hamilton, salah satu peserta konvensi, sekaligus orang dekat George Washington (Ketua Konvensi) menghendaki masa jabatan presiden 4 (empat) tahun. James Wilson, sarjana hukum kelahiran Polandia yang berimigrasi ke Amerika tahun 1765, mengusulkan masa jabatan presiden 3 (tiga) tahun, dengan hak dipilih sekali lagi. Belakangan ia mengusullkan masa jabatan presiden 6 (enam) tahun.
Tetapi ide Wilson ditolak George Masson, delegasi Virginia, mantan hakim dan anggota legislatif – House of Burgesses- juga penulis Virginia Decalaration of Rights 1776. Dalam kata-kata penolakannya Mason menegaskan right to run reelection lead a man use bribery and trickery to regain office. Mason mengusulkan masa jabatan presiden 7 (tujuh) tahun, tanpa hak dipilih kembali.
Gagasan ini ternyata ditolak juga. Gunning Bedford, delegasi Delawere menegaskan berbahaya sebuah negara diperintah selama 7 (tujuh) tahun dengan orang yang tidak kompeten. Ternyata soal kompetensi tidak terlalu dimasalahkan, dibandingkan dengan bahaya intrik. Itu sebabnya gagasan ini diterima oleh 6 (enam) delegasi. Tidak yakin dengan gagasan itu, George Masson muncul dengan gagasan masa jabatan presiden ditentukan oleh perilaku baiknya (good behavior).
Bereskah isu ini? Tidak. Charles Pinckney, delegasi Shout Carolina, Elbridge Gerry, delegasi Messachusetts dan Edmond Randolph, delegasi Virginia menolak gagasan presiden sebagai eksekutif tunggal. Pinckney menyodorkan ambisi pribadi, yang menurutnya dimiliki setiap orang. Ia menandainya, sdengan cara yang meyakinkan, sebagai hal menakutkan. Itu sebabnya Pinckney menyerukan kekuasaan presiden harus dirancang, dibatasi secara hati-hati.
Gagasan tentang ragam kekuasaan presiden yang tertera dalam Virginia Plan, dalam penilaian Gerry terlalu besar. Menurutnya rancangan ini akan menghasilkan presiden yang powerful seperti raja di Inggris. Ia menunjuk raja George III sebagai tiran. Tidak berhenti disitu, Gerry bergerak maju dengan isu lain.
Gerry mengidentifikasi kecenderungan presiden mendahulukan kepentingan daerah asalnya. Baginya ini tidak dapat diterima. Dalam penilaiannya, presiden harus mengutamakan kepentingan nasional. Itu sebabnya Ia menolak gagasan ragam kekuasaan presiden yang dirancang dalam Viriginia Plan ini. Untuk menggantikannya, menarik, ia mengusulkan model baru, triumvirat.
Tetapi baik gagasan Gerry maupun Pinckney disanggah Roger Sherman, delegasi Connecticut. Baginya isu ini simple. Sherman yang masih berkerangka pikir presiden dipilih oleh Kongres, berpendapat presiden hanya melaksanakan kehendak legislatif. Menariknya, gagasan ini juga ditolak. Argumen penolakannya, secara singkat, pemilihan melalui legislatif mengakibatkan dua cabang kekuasaan – eksekuif dan legislative- terintegrasi jadi satu. Ini berbahaya. Belum lagi bicara mengenai tirany aristokrasi, sebutan untuk tabiat legislatif.
Tetapi menariknya Gerry seperti dikutip Berkin menolak gagasan pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Argumen penolakannya “if the people elect the executive, Gerry said, any organized group that draw together men from across the nation will be able to control outcome. Tetapi Gerry juga mengidentifikasi bahaya konspirasi antara legislatif dengan eksekutif bila presiden dipilih oleh legislatif.
Gagasan Gerry mendapat respon Morris. Bagi Morris, ahli hukum dan pengacara ini jika presiden dipilih oleh legislatif, tulis Berkin lebih spesifik “itu akan dikerjakan dengan cara intrik, komplotan rahasia, dan faksi. Sangat terbelah. Rogers Sherman menyambar, dalam makna mendukung argumen-argumen di atas.
Sherman dengan nada elitis menyatakan the people, will never be sufficiently informed of characters, to select wisely. Terbelah lagi. George Masson, penulis Piagam Hak Asasi Manusia Virginia 1776 justru mempertahankan pemilihan presiden secara langsung. Juga menyangkal pemilihan presiden oleh legislatif, yang orang-orangnya ia kualifikasi sebagai ordinary citizen.
Mengagumkan, pembelahan sedalam dan sekeras itu tak mengakibatkan mereka melupakan kompromi. Saat David Bearly pada tanggal 4 September melaporkan hasil kerja Komisi Pendalaman –Committee of Detail- munguatlah ide pemilihan presiden melalui electoral college. Ide ini akhirnya disepakati sebagai cara pemilihan presiden. Beberapa tahun setelah konvensi berakhir, John Dickinson, dalam kata-kata Berkin “claim full credit for the creation of the electoral college.”
Sebaran dan ragam kekuasaan presiden, yang saat ini terlembagakan dalam konstitusi mereka, juga dicapai pada rapat ini. Kecuali Wakil presiden menjadi Ketua Senat ex officio, ragam kekuasaan presiden itu, dengan ketapatan terbantahkan diadopsi diberbagai negara, termasuk Indonesia. Tetapi deraja kehatian-hatian hebat dari mereka, dalam kenyataannya tidak dapat mendefenisikan jangkauan, ragam kekuasaan presiden secara rigid.
Kata Berkin, kekuasaan presiden bersifat situasional, potensial dan tergantung pada perkembanga sejarah. Ini semua tidak diharapkan oleh para pembentuk UUD. Bahkan mereka, para pembentuk UUD pun tak dapat membayangkannya. Banyak dari kekuasaan presisden muncul pada situasi krisis.
Identifikasi krisis sebagai kesempatan presiden memperluas kekuasaanya juga datang dari Richard M. Tifus, professor studi Amerika pada Columbia Univ. Bahkan, disini terlihat perbedaan dengan ahli hukum, Richard menunjuk bahasa konstitusional yang mendua, umum dan tidak rigid, sebagai cara memungkinkan bekerjanya kekuasaan dalam jumlah besar, tanpa batasan rinci guna mengatasi keadaan darurat.
Apa yang bisa ditandai dari semua argumen dan gagasan para perancang UUD AS yang diidentifikasi Berkin di atas? Menyelami sejarah, mengenal kebobrokan pada semua aspek presidensialisme dan cara pemilihan presiden –langsung atau melalui legislatif- menandai pada tingkat tak terbantahkan, mencegah tirani. Semuanya dipertimbangkan dalam kerangka menjaga presidensialisme, mencegah munculnya pemerintahan tiranis.
Jakarta, 29 November 2019 (*)