GELORA.CO - BELAKANGAN ada keresahan di masyarakat atas rencana Menteri Agama Fachrul Razi melarang pengguna niqab atau cadar untuk masuk ke instansi milik pemerintah demi alasan keamanan. Walaupun rencana itu masih dalam bentuk wacana kajian agar nantinya ditetapkan melalui Peraturan Menteri Agama.
Pernyataan Menag yang disampaikan saat sambutan pada acara 'Loka Karya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid' di Hotel Best Western, Mangga Dua Selatan, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Rabu (30/10), bukan berarti melarang penggunaan cadar di luar instansi pemerintahan.
Terlepas dari itu, opini soal cadar ini berkembang menjadi konsumsi diskusi akal sehat, atau ada yang mengembangkannya menjadi isu politik untuk dapat digiring dan digoreng dalam upaya mendiskreditkan Menteri Agama.
Apalagi bila dihubungkan dengan awal dilantiknya Menteri Agama di luar ekspektasi yang tak lazim selama dua dekade sebelumnya, dimana para menteri di Kementerian Agama berlatar belakang santri sedangkan beliau Purnawirawan Jenderal yang luput dari berita dan sentuhan kegiatan keagamaan dalam perjalanan kariernya. Maka dikembangkanlah isu sekan-akan Menag tidak cakap dalam memimpin Kementerian Agama lima tahun ke depan.
Sebagai seorang muslim, dalam merespons polemik soal cadar ini, apakah merupakan substansi ajaran agama atau hanya wilayah khilafiyah, kita harus merujuk kepada Al-Quran sebagai sumber ajaran agama Islam. Dalam Al-Quran ada beberapa kata yang berhubungan dengan pakaian wanita.
Pertama adalah kata "khumur" yang terdapat dalam Surah An-Nur:31. "Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (khumur) ke dadanya..." Khumur dalam pengertian Bahasa Arab adalah tirai atau penutup. Dalam ayat ini perintah menutup yang diserukan kepada wanita muslimah ada pada sekitaran dada mereka. Dimana kain penutup atau sejenisnya mampu menutupi sekitar dada mereka yang berbeda bentuk dan fungsi dengan pria tersebut.
Karena perintah wahyu ini tidak menunjukkan kepastian apakah makna khumur dalam ayat ini adalah sebuah kain atau sejenisnya yang menutupi atas kepala sampai ke dada atau penutup yang hanya menutupi sekitar dada saja, maka mufassir berbeda dalam mengartikan batas kain penutup ini.
Kedua, "hijab" sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Ahzab: 53. "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka..." Sungguh ayat ini membuka sisi sosial Nabi kepada sahabat Ahlu Suffah. Mereka adalah kelompok sahabat yang fakir miskin tidak mempunyai rumah bertempat tinggal kecuali di seputaran halaman masjid seperti Abu Hurairah, Salman Alfarisi dan lain lain.
Maka sahabat yang dikenal dengan Ahlu Suffah ini selalu makan dan minum di rumah Rasul yang dipersiapkan oleh isteri-isteri Nabi yang bersebelahan dengan masjid itu. Terkadang di saat-saat waktu makan, Rasul SAW tidak berada di rumah karena kesibukannya dalam menyebarkan dakwah Islam. Maka Allah perintahkan kepada orang-orang beriman untuk memakan makanan yang disajikan oleh isteri-isteri Nabi tanpa menunggu atau berlama-lama di rumah Nabi apalagi bercakap-cakap setelah makan. Karena itu Allah memberi perintah agar meletakkan hijab atau tabir ketika mereka memintak kebutuhan makan dan minumnya.
Dalam hal ini sebahagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud hijab dalam ayat ini adalah batas-batas moral yang dibangun Al-Quran dalam interaksi sahabat dengan para isteri Nabi. Bangunan moral itu harus dalam bingkai kejujuran, penghormatan dan niat baik ketika masuk ke rumah Nabi bukan bermaksud lain selain hanya ingin memintak makan dan minum. “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka."
Ketiga, kata "jalabib" yang terdapat dalam Surat al-Ahzab: 59. "Wahai Nabi, katakanlah terhadap istri-istrimu, anak-anakmu, dan istri-istri orang-orang yang beriman (agar) mereka mengulurkan jalaabib mereka. Demikian itu, supaya mereka lebih mudah dikenal dan tidak disakiti. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa penyebab turunnya ayat di atas adalah suatu hari, istri Nabi keluar karena suatu keperluan. Dahulu menggunakan kain penutup kepala belum begitu populer. Kemudian ternyata ada sekelompok orang nakal yang mengganggu mereka. Mereka yang digoda itu mengadu ke Rasulullah. Dengan turunnya ayat ini, mereka diperintahkan untuk menutupi kepala hingga dada agar mudah dikenal, serta terhindar dari gangguan laki-laki yang nakal.
Dalam pengertian lain bahwa makna jalabib adalah perubahan cara berpakaian yang lebih baik dan rasional sehingga berbeda dengan pakaian yang mereka pakai sebelum menjadi muslimah agar tidak memberi kesempatan buat orang munafik mengganggu mereka karena penampilan senonoh.
Sementara kata "cadar" atau "niqab" (penutup wajah) tidak ada penjelasannya dalam Al-Quran. Kecuali hanya ditemukan dalam fatwa ijtihad ulama terkait potongan ayat 31 dari Surat An-Nur, "Kecuali yang (biasa) nampak dari padanya". Padahal seharusnya tidak perlu dipaksakan menjadi kewajiban bagi kaum muslimah. Selain itu ditemukan pula dalam sebuah Hadis Ibn Majah bahwa Aisyah berkata beliau pernah ber-"tanakkur" (menyamarkan diri) dengan memakai niqab atau kain penutup wajah.
Dengan demikian, bila merujuk dari perspektif di atas dapat dipahami bahwa pelarangan memakai cadar dalam instansi milik pemerintahan oleh Menteri Agama tidak melanggar syariah. Justru memberi bangunan positif untuk umat Islam yang sekarang lagi terfitnah atas ulah oknum yang melakukan pemboman, pencurian, dan terakhir ingin melakukan pembunuhan mantan Menko Polhukam Wiranto dengan memakai cadar. Bila keadaan ini dibiarkan mungkin saja akan menimbulkan hujatan terhadap Islam di hari-hari ke depan.
Zulkarnain Nasution
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.(rmol)