GELORA.CO - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja sebesar dua kali lipat dari besaran saat ini, berlaku mulai 1 Januari 2020.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Jokowi pada 24 Oktober 2019.
Namun kenaikan iuran BPJS Kesehatan diyakini masih terjangkau buat masyarakat yang terdampak. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi ldris berpendapat, iuran yang naik masih tetap lebih murah dibandingkan harga pulsa. Benarkah?
Lebih Murah dari Biaya Pulsa
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi ldris berpendapat, iuran yang naik masih tetap lebih murah dibandingkan harga pulsa.
"Yang kalau kita bicara perbandingan, lebih murah dari pulsa," kata dia di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Apalagi kata dia bila iuran BPJS Kesehatan yang naik tersebut dibayar harian akan kelihatan keterjangkauannya, di mana peserta hanya perlu membayar dalam sehari Rp 5.000-Rp 6.000 untuk kelas I, Rp 3.000-Rp 4.000 untuk kelas II, dan tidak lebih dari Rp 2.000 untuk kelas III.
"Bahwa iuran itu ada risetnya masih terjangkau," jelasnya.
Jadi menurutnya salah apabila ada yang menilai pemerintah ingin merugikan masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
"Kalau ada yang menyatakan pemerintah zalim, pemerintah membuat rakyat makin menderita, pemerintah kemudian menyengsarakan masyarakat itu tidak. Justru pemerintah hadir," tambahnya.
Masih Disuntik Subsidi
BPJS Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah masih memberi subsidi bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan bukan pekerja alias peserta mandiri meskipun mereka terdampak kenaikan iuran mencapai 100%.
"Dalam perpres ini tetap ada subsidi dari pemerintah," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi ldris di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Sebagai gambaran, penyesuaian yang dilakukan membuat iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kelas I sebesar Rp 160.000, kelas II Rp 110.000, kelas III Rp 42.000.
Angka tersebut menurutnya masih berada di bawah yang seharusnya. Padahal berdasarkan hitung-hitungan, semestinya kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kelas I Rp 274.204, kelas II Rp 190.639, kelas III Rp 131.195.
"Kami ingin sampaikan secara clear, ada selisih di antara angka ini (angka penyesuaian dengan yang seharusnya)," sebut dia.
"Kenapa kemudian kita lihat bahwa pemerintah, Presiden masih memberikan subsidi kepada bukan peserta penerima upah karena program ini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," tambahnya.
Nunggak Bayar BPJS Kesehatan Bakal Dapat Ini
Jumlah penunggak berpotensi meningkat imbas kenaikan iuran BPJS Kesehatan tahun depan sebesar 100%. Itu berlaku untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan bukan pekerja alias peserta mandiri.
Lantas apakah pihak BPJS Kesehatan sudah mengantisipasi hal tersebut?
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi ldris mengatakan, isu tersebut memang cukup menjadi perhatian belakangan ini pasca keputusan resmi kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"Bisa jadi di antara ini kemudian teman-teman akan menjadi peserta non aktif (tidak bayar iuran)," kata dia di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Pihaknya lanjut dia, sudah memiliki prosedur dalam menghadapi peserta non aktif alias nunggak iuran dengan cara persuasif.
"Nanti peserta yang terdaftar kemudian menunggak itu kami harus lakukan penagihan. Bagaimana cara menagihnya, tentu kami menggunakan cara-cara yang paling lembut, paling persuasif," jelasnya.
Jadi BPJS Kesehatan memiliki semacam alat monitor. Di situ akan kelihatan mana peserta yang nunggak iuran. Nantinya mereka akan diingatkan untuk segera melunasi tagihannya, mulanya melalui telepon.
"Telepon diingatkan, telepon diingatkan, itu sampai tiga bulan," sebutnya.[dtk]