Janji 7% Jokowi Basi, Ekonomi RI Tak Meroket Malah Keok!

Janji 7% Jokowi Basi, Ekonomi RI Tak Meroket Malah Keok!

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Perekonomian Indonesia tumbuh, ya tumbuh tapi melambat. Jangankan menagih janji pertumbuhan 7% di awal kampanye Joko Widodo (Jokowi) 2014 lalu, ekonomi Indonesia tak mampu bergerak dari 5%.

Perlambatan ekonomi Indonesia kian nampak sejak triwulan I-2019. Dan BPS baru saja melaporkan ekonomi Indonesia tumbuh melambat pada triwulan III-2019.

Ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% di triwulan III-2019 atau lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang mencapai 5,05%.

Berikut data pertumbuhan ekonomi di 2019:

    Triwulan I-2019 : 5,07%
    Triwulan II-2019 : 5,05%
    Triwulan III-2019 : 5,02%
    Triwulan IV-2019 : ?


Adapun komponen pertumbuhan PDB triwulan III-2019 menurut pengeluaran yakni :

    Konsumsi Rumah Tangga : 5,01%
    Konsumsi LNPRT (Lembaga Non Profit Rumah Tangga) : 7.44%
    Konsumsi Pemerintah : 0,98%
    Pembentukan Modal Tetap Bruto (Inevstasi) : 4,21%
    Ekspor : 0,02%
    Impor : -8,61%


Nah sejak Jokowi menjabat sebagai Presiden di 2014, begini data pertumbuhan ekonomi :

    2014 : 5,02%
    2015 : 4,79%
    2016 : 5,02%
    2017 : 5,07%
    2018 : 5,17%
    2019 (Triwulan III) : 5,02%


BPS mencatat konsumsi rumah tangga masih menjadi sumber pertumbuhan di era Joko Widodo. Konsumsi rumah tangga sendiri pada triwulan III-2019 mencapai 2,69%. Sementara yang lainnya masih loyo dan tak bisa diharapkan.

Masih menggunakan data terbaru, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di tahun ini sudah berkali-kali melemah.

Bahkan di Oktober 2019 menunjukkan pelemahan kembali. Sudah lima bulan IKK mengalami penurunan, meski nilainya masih di atas 100.

Bank Indonesia (BI) melaporkan, IKK pada Oktober berada di 118,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 121,8.

Meroket atau Menukik?

Sekadar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.


Teranyar, pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.


Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.


Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.


Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan menyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.


Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.


Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.


Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Investasi Kacau Balau

Seiring dengan tak kompetitifnya perekonomian Indonesia, investor asing menjadi kian enggan untuk menanamkan modalnya di negara ini. Pada akhirnya, seperti yang sudah dijelaskan di halaman dua, pertumbuhan ekonomi menjadi loyo.


Kalau berbicara mengenai tarik-menarik dana asing di pasar modal, Indonesia bisa dibilang jago. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per September 2019 pemodal asing tercatat memiliki 50,6% dari saham yang tercatat di KSEI.


Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 8 Oktober 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.030,68 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 38,64%.


Tapi, kalau berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), ceritanya menjadi berbeda. Untuk diketahui, jika berbicara mengenai investasi riil, yang terpenting bagi Indonesia adalah penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment. 


Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.


Celakanya, pertumbuhan realisasi PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, realisasi PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%. Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.


Kalau dilihat kinerjanya secara kuartalan, selama empat kuartal beruntun (sejak kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019) realisasi PMA membukukan kontraksi secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61%.


Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.


Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.


Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi (bagian dari perhitungan PDB menggunakan pendekatan pengeluaran) tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.


Pada kuartal III-2019, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah merilis realisasi investasi kuartal III tahun 2019. Realisasi investasi pada kuartal III-2019 tumbuh 15,4% secara year on year (YoY).

Dari data BKPM, Kamis (31/10/2019) mencatat realisasi investasi kuartal III-2019 mencapai Rp 205,7 triliun atau naik dobel digit secara YoY. Realisasi investasi kuartal III tumbuh 2,6% (QoQ) dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Ditinjau lebih jauh, realisasi investasi asing (PMA) kuartal III-2019 naik menjadi Rp 105 triliun dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 89,1 Triliun. Artinya investasi asing juga naik dobel digit sebesar 17,8% YoY. Namun dibandingkan dengan kuartal sebelumnya investasi asing cuma naik tipis 0,1% QoQ.

Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, Manufacturing PMI Indonesia pada bulan Juli, Agustus, dan September berada masing-masing di level 49,6, 49, dan 49,1.


Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.


Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya sehingga sangat mungkin pertumbuhan pos investasi akan melorot ke bawah 5%.


Selain karena aktivitas manufaktur dalam negeri yang selalu terkontraksi pada kuartal III-2019, patut diwaspadai bahwa lemahnya realisasi PMA akan kembali didapati di tiga bulan ketiga tahun ini, seiring dengan kondisi di tanah air yang memanas.


Seperti yang diketahui, Indonesia memanas menjelang akhir bulan September seiring dengan gelombang demo yang terjadi di berbagai daerah terkait dengan beberapa isu. Isu-isu yang dimaksud di antaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang belum lama ini sudah disahkan oleh parlemen.


Disahkannya revisi UU KPK dipandang oleh banyak pihak sebagai upaya yang sistematis untuk melemahkan posisi KPK, sebuah lembaga yang memiliki rekam jejak oke dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia.


Selain revisi UU KPK, aksi demo juga digelar guna menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lebih lanjut, ada RUU Permsayarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan juga RUU Minerba yang lagi-lagi meresahkan masyarakat.

Sri Mulyani Salahkan Global

Ekonomi dunia tengah mengalami perlambatan. Selain itu, perang dagang dan gejolak politik di sekitarnya membuat ekonomi kian tertekan, termasuk Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal tersebut dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Senin (4/11/2019).

"Perekonomian dunia mengalami tekanan yang cukup berat. Terlihat dari revisi menurun dari proyeksi 2019. Di mana turun hampir 0,7%. Tadinya 3,9%, kemudian 3,7% dan 3,5% dan terakhir proyeksi hanya akan tumbuh 3%," terangnya.

Menurut Sri Mulyani, IMF bicara jika ekonomi dunia sudah masuk kategori resesi. Eropa, AS, dan China mengalami perlambatan.

"Risiko global yang perlu diwaspadai lainnya perang dagang, kemungkinan ada negosiasi, masih menyelimuti ketidakpastian global."

"Di berbagai dunia, mengalami penurunan dalam posisi trennya. AS juga tidak terelakkan karena dunia melambat. Jerman tumbuh 0,04%, China biasnya mendekati 7% sekarang tinggal 5%. Sementara, Indonesia stabil, hanya sekitar 0,1%," terang Sri Mulyani.

Sementara, Eropa, Inggris, Jepang, dan India merosot tajam di kisaran 5%. Sri Mulyani menyebut juga Thailand dan Vietnam juga sama.

"Ekonomi mengalami pelemahan di berbagai belahan dunia."  [cb]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita