GELORA.CO - Imam Besar New York AS, Shamsi Ali mengatakan, persoalan radikalisme harusnya tidak menyudutkan agama tertentu dalam hal ini Islam.
Dalam pernyataan pers yang diterima VIVAnews, Shamsi Ali mengaku bahwa persoalan radikalisme merupakan ancaman. Tidak hanya Indonesia, tetapi juga negara-negara lainnya.
Sebab, menurut dia, radikalisme berbahaya karena menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Radikalisme juga sering, justru membawa pada perpecahan dan konflik umat manusia.
Namun, lanjutnya, persoalan besar kalau radikalisme yang dilempar ke publik tidak ada definisi yang jelas. Yang justru menimbulkan kecurigaan diantara sesama manusia.
"Yang lebih runyam lagi isu radikalisme itu kemudian mengarah kepada satu bentuk. Yaitu, bentuk radikalisme agama. Menyedihkannya, kemudian adalah ketika isu radikalisme agama itu mengarah kepada agama tertentu," ujar Shamsi Ali, Rabu 6 November 2019.
Penyertaan simbol-simbol agama yang dikaitkan dengan radikalisme, menurutnya, juga tidak tepat. Justru, lanjutnya, menimbulkan persepsi yang makin kuat bahwa isu radikalisme ingin dibawa pada agama tertentu.
"Penyebutan ciri-ciri fisik yang biasa diidentiikan sebagian sebagai ciri keagamaan, seperti celana cingkrang, janggut, jidat hitam, cadar, dan seterusnya semakin menyimpulkan bahwa yang ditarget dalam hal ini adalah kelompok agama tertentu," jelas Presiden Nusantara Foundation itu.
Radikalisme, menurutnya, adalah sebuah pandangan (ideologi) dan karakter (perilaku) hidup yang cenderung melewati batas-batas (huduud) normal dan hukum. Dengan kata lain, keberadaannya selalu ingin lebih, dan yang lain terlihat kurang. Pandangan ini berlaku di seluruh kehidupan manusia.
Maka, lanjut dia, tidak tepat jika hanya dialamatkan pada agama tertentu saja.
"Maka radikalisme bisa dalam bentuk cara pandang ekonomi. Ketika sistim ekonomi melampaui batas-batas kebutuhan pribadi atau publik, dan cenderung saling mengorbankan, itulah radikalisme dalam perekonomian. Maka baik kapitalisme maupun sosialisme adalah dua bentuk radikalisme dalam perekonomian," jelasnya.
Dalam sudut pandang politik, lanjut dia, radikalisme juga bisa muncul. Yakni munculnya pemahaman bahwa paham politik yang dia pegang adalah yang paling benar. Maka radikalisme di situ muncul.
"Ketika sebuah cara pandang dan prilaku politik menjadi tuhan dan suci, dengan melihat pandangan dan pilihan politik lain salah bahkan ancaman itu adalah radikalisme dalam perpolitikan. Dukungan buta atau kebencian tiada batas dalam dukungan politik merupakan bentuk radikalisme politik itu sendiri," lanjutnya.
Dalam agama, radikalisme memang bisa muncul. Tapi menurutnya, bukan pada agamanya, tetapi pada sudut pandang seseorang memaknai agama yang ia anut.
Pandangan yang merendahkan bahkan cenderung menihilkan orang lain. Akibatnya, kata Shamsi Ali, permusuhan dan perpecahan rentang terjadi dalam masyarakat.
"Agama itu absolut. Tapi pandangan atau tepatnya tafsiran keagamaan bersifat manusiawi. Dan karenanya tidak absolut. Oleh karena itu Ketika seseorang merasa paling benar dan yang lain kurang maka pandangannya telah terasuki radikalisme," katanya.
Menurutnya, persoalan terbesar dalam melihat isu-isu negatif kemasyarakatan ini adalah ketika ada kepentingan politik yang terlibat. Dia khawatir, dalam persoalan nasional, munculnya isu radikalisme lantaran kepentingan politik tertentu.
Bagi dia, jika hal itu benar maka ini sangat berbahaya. Karena pertimbangannya bukan dari persoalan bangsa dan negara, tetapi pada kepentingan politik golongan tertentu.
"Dan yang lebih berbahaya tentunya adalah pelemparan isu radikalisme yang mengarah kepada kelompok agama tertentu justru akan semakin mempertajam friksi sosial atau perpecahan masyarakat. Bahkan tendensi intoleransi akan semakin menjadi-jadi. Karena sebagian merasa dirangkul. Sebagian lain merasa ditinggalkan," jelasnya.
"Dan, jika itu terjadi, maka itulah sesungguhnya kagagalan murakkab (berlapis)!dalam mengelolah kehidupan berbangsa. Semoga tidak!," tutur Shamsi Ali. [vn]