GELORA.CO - SAYA tidak hendak bermain-main dengan ketegangan pemerintah tentang radikalisme. Catatan ini sebagai bagian dari alternatif untuk menyelesaikan perselisihan antara radikalisme dan negara yang bersitegang pasca kabinet baru terbentuk.
Pemerintah sudah sangat serius berhadapan dengan radikalisme, sementara radikalismenya belum juga menampakkan wajahnya untuk menjawab segala serangan.
Pasca oposisi bergabung dengan pemerintah, saya berkesimpulan kegaduhan politik selesai, apalagi dengan tangan terbuka Presiden Joko Widodo merangkul Prabowo Subianto, rival politiknya dalam kontestasi Pilpres 2019 dengan memberi dua jatah Menteri. Oposisi yang selama ini dituduh memolitisasi agama dan "menernak" kelompok radikal kini telah bertanggung jawab akan terwujudnya visi dan misi pemerintahan Jokowi.
Meskipin pro dan kontra pasca oposisi bergabung sangat meributkan, tapi pada akhirnya semua terima akan sikap politik masing-masing partai dan individu. Yang pro mendukung langkah rekonsiliasi politik tersebut menggunakan alasan untuk menghilangkan kegaduhan, sementara yang kontra mengkawatirkan check and balances tidak berjalan efektif.
Terlepas dari semua itu, kita juga patut besyukur bahwa bersatunya dua rival politik antara oposisi dan pemerintah membawa dampak terhadap harmonisasi dan kembali kuatnya kohesi sosial. Meskipun secara etika politik, sikap Prabowo tidak banyak didukung oleh kelompok-kelompok yang masih setia berada di luar pemerintah.
Suasana menjadi adem dua kelompok yang tadinya saling "bertengkar" secara tajam di media, dengan gelar "kampret" dan "cebong" sudah bersatu. Bahkan cebong dan kampret sudah makan semeja.
Sebelum pemilu kita dapat merasakan suatu ketegangan sosial dalam masyarakat. Bahkan Prabowo sebagai Capres dianggap juga memelihara kaum radikal, fundamentalis dan lain sebagainya. Begitupun sebaliknya, Jokowi dianggap memelihara liberal, syiah dan lain sebagainya. Saling tuduh-menuduh itu ternyata tidak selalu benar.
Buktinya kelompok radikal masih begitu kuat dan "seksi" untuk dibahas oleh beberapa kementerian pasca Prabowo bergabung. Radikalis yang tadinya dianggap bersama atau kasarnya "dirawat" oleh Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 ternyata tidak mengikuti atau bahkan berseberangan dengan Prabowo. Pasca dilantik menteri kabinet, isu radikalisme yang paling pertama muncul di podium menteri-menteri.
Kekhawatiran para analisis politik akan hilang kontrol terhadap kekuasaan akibat bersatunya oposisi dan koalisi-kecuali Demokrat dan PKS dalam hal ini tidak masuk dalam kabinet, tentu kalau menghitung suara, dua partai itu kalah suara dalam parlemen jika diperhadapkan dengan koalisi. Di tengah kekhawatiran itu, ternyata masih ada satu faksi yang belum terakomodir dalam pemerintah, yaitu "faksi radikalisme".
Setelah satu hari dilantik, Kabinet langsung bereaksi tentang faksi radikalisme ini. Pengangkatan Menteri Agama dari kalangan militer tenyata ditugaskan untuk memberantas radikalisme. Singkatnya tugas menteri Agama memberantas radikalisme.
Menkopolhukam Mahfud MD juga tidak diam tentang masalah radikalisme ini. Kelompok ini benar-benar telah membawa sebuah kekhawatiran besar di dalam kabinet yang baru saja dilantik. Keadaan ini tentu memperburuk suasana keharmonisan yang baru saja terjadi antara oposisi dan pemerintah. Kegaduhan bukan lagi ulah oposisi, tetapi ulah radikalisme.
Pada akhirnya kita dapat membaca, bahwa musuh utama yang terbentuk pasca oposisi bergabung dalam pemerintah adalah "faksi radikalisme". Faksi ini bukan sekadar paham. Kalau hanya sekadar paham, tentu ia tidak berbahaya, ia berbahaya kalau sudah menjadi faksi (institusi) sosial.
Secara etimologi radikal itu "akar" atau dasar dari sebuah sikap kelompok yang ingin mengubah sistem politik secara drastis. Sementara radikalisme dalam sejarahnya yang muncul di Britania Raya untuk memperjuangkan cita-cita politik yang liberal.
Bukan sekadar definisi atau sejarah itu yang menjadi fokus pemerintah, tetapi "kelompok radikal" yang beroperasi secara konrontatif dengan kekuasaan. Tetapi secara eksistensial masih simpang-siur, secara kuantitas masih belum dihitung, secara geografis belum dipetakan, secara ideologis tak terklasifikasi, dan secara organisasi pun belum dapat diidentifikasi secara riil.
Belakangan setelah Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, muncul oposisi yang kuat di kalangan civil society. Kelompok ini tidak dapat teridentifikasi secara struktural, tetapi selalu bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah dan mereka terbentuk secara alamiah pasca oposisi bergabung dengan pemerintah. Apakah massa yang mengklaim diri sebagai oposisi ini yang dikategorikan sebagai kelompok radikal? Wallahualam.
Kecemasan pemerintah terhadap kelompok radikal sangat tinggi. Tetapi klasifikasi kelompok ini belum dapat dibaca seperti kita membaca kelompok oposisi partai dan kelompok partai pendukung pemerintah. Dalam kesimpangsiuran itu, kita patut bersyukur dalam bayang-bayang kebingungan, bahwa dengan sikap dan tindakan pemerintah yang sangat radikal, Indonesia dapat menghalau radikalisme.
Radikalisme Vs Radikalisme
Apresiasi pertama yang harus kita ucapkan adalah terkait sikap radikalisme pemerintah terhadap faksi radikalisme patut diapresiasi. Tentu radikalisme pemerintah tidak diperbolehkan hanya sekadar menjauhi, mengintip dan bahkan memerangi radikalisme. Pendekatan dialog harus dibangun antara pemerintah dan kaum radikal ini.
Demokrasi membuka jalan bagi setiap orang untuk membicarakannya, tetapi tugas pemerintah adalah memastikan bahwa semua berjalan sesuai dengan konstitusi. Apabila kelompok radikal teridentifikasi, pemerintah harus memberikan ruang dialog, bukankah ada banyak lembaga yang bisa memberikan pencerahan tentang berbangsa dan bernegara, seperti BPIP dan lembaga-lembaga lainnya.
Sebab, kalau mendahulukan penindakan tentu menimbulkan rasa takut dalam negara, termasuk masyarakat secara umum takut kalau tiba-tiba faksi radikalisme ini membuat keonaran, akibat merasa terancam. Pemerintah perlu berupaya untuk mengidentifikasi keberadaan faksi radikalisme ini dan mengajaknya dialog dengan komunikasi yang ramah. Karena menurut saya, akibat komunikasi yang kurang bersahabat, muncul kesalahpahaman. Kalau pemerintah terus menutup ruang dialog terhadap radikalis ini, bisa menyebabkan kesalahpahaman yang berkepanjangan.
Di negara ini, ada yang liberal radikal, ada yang Islam radikal, ada yang Kristen, Hindu, Budha dll yang radikal, bahkan LGBT yang radikal. Kenapa semua jadi radikal? Sebab kalau diambil dari definisi di atas dapat dibenarkan. Radikal artinya memahami dasar (akar) perjuangannya. Islam radikal bertentangan dengan radikal-radikal yang lain. Sementara kaum liberal radikal, kapitalis radikal, menjadi tidak terlalu disenangi oleh radikalisme agama. Perbedaan ini disebabkan karena fundamen ajarannya berbeda.
Tetapi kalau sikap pemerintah terlalu radikal terhadap "radikal Islam", tentu akan memunculkan keributan-keributan yang tak kunjung selesai. Karena di negara Indonesia, sensitivitas agama masih tinggi, baik didorong oleh sejarah masa lalu, maupun dengan adanya sentimen dan rasa tidak puas dari cara negara mengelompokkan radikalisme itu.
Selain itu, radikalisme bisa saja tumbuh apabila terjadi disparitas pembangunan, penegakan hukum yang tidak adil dan ekonomi yang tidak merata. intinya ketidakadilan bisa memicu radikalisme yang panas. Karena itu, Kabinet Jokowi atau Pemerintahan Jokowi Jilid II harus mengakomodir radikalisme ini sebagai satu kekuatan penopang, sehingga semua menjadi radikalisme pemerintah saja.
Kementerian-kementerian juga terlalu banyak yang konsen di bidang radikalisme ini, seperti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Menkopolhukam, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Dalam Negeri, Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, semua membahas dan memprioritaskan radikalisme. BNPT, BIN dan Polisi juga punya kewenangan untuk mengadang radikalisme.
Supaya energi kabinet dan badan-badan serta lembaga-lembaga pemerintah tidak terkuras hanya karena satu faksi sebagai kelompok sisa--dalam tulisan ini diistilahkan dengan faksi radikalisme di luar pemerintah. Sebaiknya pemerintah mengajak kerja sama dan atau mengakomodir kelompok sisa ini dalam struktur pemerintahan, sehingga mereka merasa bertanggung jawab menjaga negara. Kalau semua masuk ke dalam pemerintahan, saya meyakini Indonesia akan berjalan damai, aman dan menyejukkan.
Radikalisme Sebaiknya Masuk Kabinet
Untuk mengakhiri ketegangan tentang radikalisme, saya menyarankan para radikalis atau pimpinan radikalis melobi Presiden untuk jabatan-jabatan di bawah kementerian, seperti, Kepala Badan atau Direktur BUMN. Lebih afdolnya jabatan Kepala BNPT atau semacamnya. Atau sebaliknya Presiden meminta perwakilan radikalis untuk datang ke Istana supaya dapat terjadi komunikasi yang membangun antara kedua belah pihak.
Saat ini yang dianggap berhadapan dengan pemerintah adalah sekelompok orang radikal. Meskipun klasifikasi radikalisme itu masih dangkal, apakah itu ide atau tindakan belum dijelaskan. Tetapi yang pastinya dalam kenyataan "faksi radikalisme" ada di Indonesia.
Pemerintah perlu menampilkan sikap tengahan, mendahulukan dialog dan menghindari sikap tidak berkompromi dengan faksi radikal di luar pemerintah (radikalisme oposisi). Pada saat penyusunan kabinet, mungkin Presiden tidak menyadari atau mungkin tidak mengambil kompromi terhadap faksi radikalisme ini. Kalau seandainya mereka dipanggil ke Istana, saya rasa semua akan damai.
Faksi radikal ini tidak seperti partai politik. Presiden boleh dan juga tidak untuk mengundang kader atau politisi dari partai Demokrat, tetapi faksi radikal ini perlu diajak. Atau mungkin faksi radikalis ini tidak mau mengambil tempat di kekuasaan, seperti PKS yang konsisten mengambil "jalan oposisi". Baik PKS maupun demokrat jelas bukan faksi radikalisme, tetapi nasib mereka sama dengan faksi radikalisme. Sama-sama tidak masuk kabinet.
Kalau memang Kabinet Indonesia Maju Jilid II ini untuk menyatukan Indonesia, sudah seyogyanya Presiden memanggil semua pihak. Sebab yang tersisa di luar pemerintahan hanyalah kelompok kecil atau kelompok sisa. Secara kuantitas di parlemen PKS dan Demokrat sangat jauh tertinggal dari koalisi. Begitu juga dari segi civil society. Faksi Radikal ini sangat kecil sekali, yang disebut sebagai kelompok sisa dari dua organisasi besar yaitu Muhammadiyah dan NU, seharusnya Presiden mengakomodir kelompok sisa ini untuk memajukan Indonesia.
Saya optimis kalau faksi radikalisme ini sudah duduk semeja dengan pemerintah, membahas bersama tata cara mengelola masalah terorisme dan kemungkinan muncul radikalisme baru, maka negara ini akan menjadi negara zero radikalisme sosial. Kalau sudah zero radikalisme sosial, maka kita akan beriringan dengan radikalisme pemerintah untuk memajukan ekonomi, menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Kalau kebijakan radikalisme pemerintah diarahkan seperti itu, maka Indonesia tidak terlalu rumit untuk menghabiskan energi dengan isu radikalisme. Intinya panggil dan ajak faksi radikalisme itu untuk sama-sama mengisi indonesia kedepan, menuju negara yang besar, berwibawa dan maju.
Furqan Jurdi
Ketua Umum Komunitas Pemuda Madani & Aktivis Muda Madani(rmol)