Cadar, Cingkrang, Dan Kebangkitan Peradaban Islam

Cadar, Cingkrang, Dan Kebangkitan Peradaban Islam

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
GELORA.CO - PANDANGAN dan pernyataan Din Syamsudin, Rizal Ramli, dan lain lain, terakhir Said Aqil Siraj, beberapa hari kemarin, telah meruntuhkan agenda aksi Jokowi terkait pemusnahan radikalisme.

Jokowi langsung meralat istilah radikalisme untuk diganti dengan "manipulator agama". Hal itu masih dalam bulan yang sama di akhir Oktober lalu, antara perintah Jokowi kepada menteri agama itu dan kemudian dia mencoba menganulirnya.

Pemimpin seperti Jokowi, cenderung tanpa pengetahuan yang cukup tentang narasi besar bangsa ini ke depan, merasa gampang memainkan kata-kata yang konsepnya, yang hanya bisa dipahami melalui kajian yang dalam atas konsep dan definisi tersebut.


Akibatnya, kata tersebut, radikalisme, harus ditarik kembali. Namun, sayangnya, menteri agama, yang merasa mendapatkan tugas, sebelum adanya penganuliran, sudah bergerak lebih cepat lagi, dengan menerjemahkan radikalisme pada simbol, seperti cingkrang (celana yang dipakai sampe batas atas lutut kaki) dan cadar (berjilbab dengan ikut menutup wajah, kecuali mata).

Menteri agama (Menag) mengatakan bahwa pegawainya yang pakai cingkrang dilarang masuk kantor, alias keluar dari pegawai negeri. Meskipun menteri ini menganulir lagi bahwa itu bukan pelarangan, hanya rekomendasi, namun wakil menteri agama, yang harus menunjukkan loyalitasnya bersifat lebih ekstrim, telah melarang penggunaan cadar dan cingkrang ini di lingkungan kementerian agama.

Pekerjaan Menag dalam mem"break down" radikalisme kepada simbol berpakaian merupakan kemajuan besar, meskipun terburu-buru, lalu salah.

Clifford Geertz dalam "Religion as A Cultural System", 1993, mengetengahkan pentingnya memperhatikan simbol dalam sebuah konsep budaya. Simbol menurutnya merupakan alat atau metoda manusia berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan dan sikap dalam kehidupan.

Agama menurut Geertz adalah “a system of symbols”. Menurutnya, simbol agama, merupakan kode atau "bahasa isyarat" keterhubungan antara manusia. (“a symbolism relating man's sphere of existence to a wider sphere within which it is conceived to rest, that both the affirmation and denial are made”).

Cadar dan cingkrang merupakan dua simbol pakaian muslim yang berkembang di Indonesia saat ini. Cadar merupakan varian hijab seperti berselendang di masa lalu dan jilbab saat ini.

Cingkrang sendiri merupakan ajaran agama Islam yang menutup aurat lelaki. Variasi penafsiran penutupan ini sampai di bawah lutut diatas mata kaki, namun sebagiannya tidak mengharuskan batas bawah tersebut.

Di samping cingkrang, trend ummat Islam di Indonesia saat ini adalah gamis, serta sebagiannya menggunakan (lagi) sarung.

Lalu apakah cadar dan cingkrang dua buah simbol kejahatan? Simbol iblis? Ataukah keduanya simbol kesalehan?

Geerzt yang menekankan simbol dalam kajian budaya tentu terkait dengan "symbol" dan "meaning" dalam pendekatan "symbolic-interactional", gang dikembangkan para sosologi, khususnya Max Weber.

"Meaning" atau makna dari simbol penting untuk melihat sejauh apa interaksi sosial akan berjalan baik. Jadi pertanyaan di atas harus mampu membongkar makna dari simbol cadar dan cingkrang tersebut.

Di eropa, penggunaan cadar beberapa tahun lalu dilarang. Denda diberlakukan terhadap wanita muslim yang menggunakan cadar dibeberapa area/kantor publik.

Ketidaksukaan masyarakat barat terhadap simbol-orang yang berasosiasi dengan Islam dapat ditarik jauh dalam sejarah permusuhan Kristen dan Islam di masa lalu. Pembantaian 50 orang jemaah Masjid beberapa waktu lalu di Christchurch, New Zealand, misalnya sebagai bagian orang-orang barat, terdapat jejak digital pembunuhnya terinspirasi kelanjutan perang Salib terhadap ummat Islam.

Di samping konflik Kristen vs Islam di era pertengahan lalu, kapitalisme barat (non agama) juga mempunyai permusuhan atau ketidaksesuaian konsep dengan pandangan Islam soal peradaban. Sebab, kolonialisme barat terhadap negara-negara Islam menghadapi perlawanan konsisten dari organ perjuangan Islam.

 Islam di barat, sebagai agama migran di sana, harus beradaptasi pada peradaban barat tersebut. Beberap pengusaha keturunan arab di Prancis dan Belgia, misalnya, meski membayar berapapun denda yang dikenakan kepada perempuan muslim terkena denda, sebagai bentuk empati, namun, akan sampai kapan pelarangan cadar ini, belum diketahui.

Di Indonesia, kesadaran baru ataupun "invention" atau "redifinition atas penutupan aurat wanita dalam Islam sangat gencar dilakukan sejak era 80an. Munim Sirry, orientalis liberal dari Notre Damme University of USA, yang membiayai 7 riset terkait agama di Indonesia saat ini, menyatakan bahwa kesadaran berhijab ini merupakan “silent revolution” selama puluhan tahun, yang didukung juga oleh fashion industry. Silent revolution karena hal itu ketika disadari ternyata telah berlangsung  dominan.

Bercadar sendiri adalah konsep berhijab yang bukan hanya  menutup seluruh tubuh kecuali tangan dan wajah, namun bercadar hanya membiarkan mata saja yang boleh terbuka buat wanita di ruang publik. Varian penafsiran soal hijab dikalangan ulama, meskipun mayoritas menganggap berhijab dengan jilbab adalah sesuai agama, sedangkan Cadar sebagai bentuk ekstrim, atau berlebihan, namun kesalehan orang-orang bercadar tidak dapat dikecilkan.

Konsep berhijab atau menutup aurat bagi wanita bukanlah kepentingan wanita itu sendiri, namun merupakan bagian konsep keluarga, di mana wanita selama ini mengambil peran (agency) membesarkan anak-anaknya, ketika suaminya fokus di luar rumah mencari nafkah. Dengan berhijab, wanita selain  melindungi dirinya dari pergaulan terbuka, juga memberi pesan nyaman bagi suaminya yang terpisah sepanjang hari.

Penutupan wajah kecuali mata dan tangan, atau bercadar, merupakan tindakan wanita yang dapat difahami dalam perluasan atau ekstensi kenyamanan wanita dan keluarganya tersebut. Jika penafsiran agama yang mereka yakini mengaitkan ini pula sebagai hijab yang sempurna, tentu kita harus mengapresiasi hal tersebut, sebagai bentuk kesalehan wanita Indonesia, sesuai sila pertama Pancasila.

Di Indonesia, terlebih lagi, Islam adalah ajaran utama yang menaungi 80 persen penduduknya. Jika di barat Islam adalah pendatang, maka di Indonesia Islam adalah tuan rumah. Sehingga menjadi ganjil rasanya orang-orang bercadar dan bercelana cingkrang dianggap "outsider", bukannya dilindungi dan dimanja oleh kekuasaan yang ada.

Kebangkitan Peradaban Islam

Vedi Hadiz, professor sosiologi dari Melbourne University dalam wawancaranya dengan Balairung Press, selain mengkhawatirkan populisme Islam ditunggangi oligarki pemilik modal, juga menunjukkan vacum nya narasi kelompok Kiri (sosialis) dalam menjawab ketidak adilan sosial yang menganga saat ini.

Sebelumnya, dalam riset yang komprehensip tentang "Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah", Hadiz yang melakukan pendekatan Socio-history dan political-economy, memperlihatkan kebangkitan Islam di Indonesia menjadi suatu fakta, meskipun di bawah Turki dan Mesir, dari ukuran pencapaian penguasaan kapital oleh orang-orang Islam.

Namun, riset Hadiz tentang populisme Islam dan Munim Sirry tentang “contending modernity” untuk “peaceful co-existence” menunjukkan bahwa kebangkitan Islam di Indonesia sudah tidak dapat dihancurkan lagi.

Kebangkitan Islam di Indonesia mempunyai rentang dari upaya mendominasi kultur, melawan neoliberalisme barat dan ketidakadilan sosial serta mendorong demokrasi tetap berkembang sebagai sistem politik. Cadar dan cingkrang merupakan simbol kultural dari kesalehan warganegara. Sedangkan demokrasi, partisipasi politik ummat Islam dalam pemilu bersifat total.

Melihat gejala atau fenomena ini, sebenarnya apa dan siapa yang dirugikan dari kebangkitan peradaban Islam di Indonesia?

Peradaban Islam, selain menentang dominasi kapitalisme, juga menentang sisi negatif liberalisme kehidupan, seperti free sex, Homosexual, pornografi, dlsb. Kontestasi simbol2 dan narasi Islam versus sisi negatif liberalisme terus berlangsung. Jadi kebencian terhadap kebangkitan peradaban Islam berpusat pada Kapitalisme dan ajaran negatif liberalisme itu.

Namun, negara sebagai wakil dari sebuah "kontrak sosial",  harus mempertimbangkan keinginan dominan dalam masyarakat, khususnya jika tidak bertentangan dengan Pancasila.

Penutup

Cadar dan cingkrang merupakan simbol yang merepresentasikan budaya kesalehan dalam Islam. Kesalehan sendiri merupakan hak hak dasar manusia yang seseorang yakini sebagai “system of belief” yang sakral. Negara harus mengapresiasi kesalehan seseorang jika tidak mengganggu sistem kepercayaan arus utama masyarakat.

Radikalisme yang diartikan negatif, lalu diterjemahkan dalam simbol cadar dan cingkrang sudah melampaui batas hak hak negara mencampuri kehidupan masyarakatnya. Negara, sebagai bagian dari konsensus kontrak sosial bukan mempunyai hak tak terbatas mengatur rakyatnya. Pemerintah harus membuang isu cadar dan isu cingkrang dari keinginan negatif.

Untuk tidak terlalu jauh negara mencoba meng-“exercise” kekuasaannya  tidak pada tempatnya, sudah sebaiknya narasi ke depan disesuaikan dengan agenda “peaceful co-existence” antara ummat Islam dan kekuatan sosial lainnya, dalam setting agenda persatuan nasional dan tentunya “shared prosperity”. Jika tidak, maka situasi kebangsaan kita akan terus kacau balau dan hanya menjadi mangsa ekploitasi imperium asing?

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle(rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita