GELORA.CO - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Arsul Sani tidak melarang adanya wacana penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Ia mengungkapkan penambahan masa jabatan presiden termasuk salah satu wacana terkait amendemen UUD 1945.
Namun, Arsul Sani mengatakan pihak internal MPR sama sekali belum membahas wacana tersebut.
Arsul Sani menuturkan untuk membiarkan pendapat ini berkembang di ruang publik.
"Tapi kalau dari internal MPR sendiri kita belom pernah membahas. Apalagi meluncurkan wacana itu," terang Arsul Sani, Senin (25/11) di Komplek DPR MPR, Jakarta.
Menurut Asrul Sani, sebagai negara demokrasi, tentu boleh-boleh saja orang menyampaikan pendapatnya. Mungkin ada yang menilai jabatan presiden saat ini hanya dua periode dianggap kurang dan perlu ditambah, maka, menurut Asrul Sani, tak ada salahnya menyampaikan pendapatnya.
"Sama dengan pendapat yang lain, sebaiknya masa jabatan presiden itu dibatasi satu kali masa jabatan saja tetapi untuk delapan tahun. Itu kan juga sah sah saja. Biarkan diskursus-diskursus ini berkembang di ruang publik," ujar Asrul Sani.
Menurutnya, MPR menanggapi usulan-usulan tersebut sebagai sebuah sesuatu hal yang positif. Perbincangan mengenai konstitusi kembali bergeliat setelah 20 tahun amendemen.
“Ya, nggak salah, itu lah wujud dari the living constitution. Supaya bukan MK saja yang menjadi the guardian of constitution,” ujarnya ringan
Arsul menuturkan sampai saat ini MPR masih menjaring aspirasi masyarakat. Paling tidak, imbuhnya, dua tahun pertama MPR akan membuka ruang konsultasi publik melalui berbagai forum.
Usulan penambahan masa jabatan presiden rupanya bermacam versi. Menurut Arsul, ada pula usulan masa jabatan presiden diubah menjadi satu periode saja. Namun, memiliki durasi selama 8 tahun dalam satu periode.
Alasannya, masa jabatan presiden delapan tahun itu akan membuat presiden-wakil presiden mampu dengan mudah mengimplementasikan programnya dengan lebih baik. (Rmol)