Suara Relawan: Saat Pilpres Kami Dukung Jokowi, Kini Seolah Buzzer Haram dan Menjijikkan

Suara Relawan: Saat Pilpres Kami Dukung Jokowi, Kini Seolah Buzzer Haram dan Menjijikkan

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Isu buzzer media sosial pro-pemerintah mengemuka usai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menanggapi sosok misterius Kakak Pembina buzzer Istana. Moeldoko bahkan setuju buzzer politik ditertibkan. Namun salah satu pihak yang disebut sebagai buzzer mengkritik rencana penertiban itu.

"Buzzer ini kan istilahnya bukan hanya ditujukan buzzer Istana. Buzzer ini kita bilang ada buzzer Kartanegara juga kan. Itu dalam konteks pilpres," kata Pepih Nugraha, Jumat (4/10/2019).

Pepih adalah salah satu dari banyak nama yang diunggah akun Facebook Seword, akun pro-pemerintahan Jokowi. Pepih dan yang lain berkumpul memenuhi panggilan Kakak Pembina, sosok misterius. Orang-orang yang berkumpul itu lantas dianggap sebagai buzzer Jokowi.

Mantan wartawan ini berusaha meluruskan isu tersebut. Menurutnya, istilah buzzer bukan hanya ada untuk buzzer Istana Kepresidenan saja. Buzzer adalah pihak yang mendengungkan sebuah pesan. Terlepas kerja-kerja mendengung itu dibayar atau sukarela.

"Ada barangkali buzzer khilafah, buzzer HTI. Buzzer ini kan kalau bahasa Indonesianya kan pendengung dari suara-suara lebah-lebah. Jadi orang yang mendengungkan," ujar Pepih

"Siapapun bisa mendengungkan, entah itu pesanan, dibayar, atau entah itu sukarela," sambungnya.

Dia mencontohkan buzzer seperti orang yang suka bermain gitar. Orang yang suka bermain gitar, bisa saja mempromosikan atau mendengungkan bahwa bermain gitar itu menyenangkan. Menurutnya, itu merupakan contoh buzzer sukarela.

Ketika orang yang suka bermain gitar itu diminta salah satu merek gitar untuk mendengungkan produknya, barulah hal itu masuk dalam kategori buzzer berbayar.

Dia lantas mempertanyakan sejumlah pihak yang meminta pemerintah menertibkan buzzer. Menurutnya, hal tersebut justru upaya untuk merusak proses demokrasi.

"Ada yang meminta Pak Jokowi menertibkan para buzzer-nya yang dirasa bisa merusak demokratisasi ini. Lha kok yang diminta malah buzzer-nya Pak Jokowi? Kenapa bukan minta buzzer-nya HTI ditertibkan? Jelas-jelas itu ingin mengganti NKRI. Dia kan ingin mengganti ideologi Pancasila toh," ujarnya.

Bahkan, untuk merawat demokrasi, Pepih menyarankan agar buzzer ini ada dan berdampingan dengan jurnalisme. Pasalnya, buzzer adalah sebuah keniscayaan di zaman internet.

"Buzzer ini mestinya hidup berdampingan dengan jurnalistik. Emangnya ini kayak Orde Baru, bisa membunuh wartawan kayak gitu? Adanya buzzer ini keniscayaan. Karena adanya internet, adanya media sosial. Internet itu lahan tak bertuan, jadi tiap orang boleh dong bercocok tanam di situ. Boleh dong teriak-teriak di situ. Dan punya kesempatan yang sama. Seolah-olah buzzer ini barang yang haram dan jelek," ungkapnya.

Pepih juga menjelaskan konteks foto viral yang membuat dia dianggap sebagai buzzer pemerintah. Foto itu, lanjutnya, diambil dalam salah satu acara debat Pilpres 2019. Menurutnya, tak ada yang salah dengan foto tersebut.

"Pada saat pilpres. Kami ini pendukung Jokowi. Saya ini mantan wartawan. Tapi saat itu saya sudah orang bebas. Pertanyaan saya, apa salahnya? Boleh dong kumpul-kumpul sesama pendukung Jokowi. Ketika kemudian ada debat, dikumpulkan di suatu tempat, kami di situ nonton bareng-bareng. Ada yang bikin komik, meme, video, desain grafis, dan saya bikin tulisan opini," tuturnya.

Ketika ditanya, apakah ia adalah seorang buzzer, Pepih menegaskan dirinya hanyalah seorang sukarelawan atau volunteer. Namun, untuk urusan NKRI, Pepih mengaku sebagai buzzer NKRI.

"Enggak. Saya volunter. Lebih ke volunteer. Sebutan buzzer, itu dari pihak yang ingin mendiskreditkan. Seolah-olah buzzer ini sebutan untuk pekerjaan yang menjijikkan. Saya buzzer NKRI. Buzzer Pancasila. Siapa yang bayar saya? Nggak ada yang bayar saya," tegasnya. [dt]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita