Penulis: Dimas Huda
Urat malu para politisi terlalu tipis sehingga mudah putus. Prabowo Subianto mungkin salah satunya. Capres yang selalu kalah ini belakangan menghiasi layar kaca. Ia bersafari ke Istana sampai ke rumah ketua parpol. Publik menduga, tujuannya satu: kursi menteri “demi nusa dan bangsa”.
Langkah Prabowo ini bisa dibilang tak tahu malu, karena Prabowo sudah jelas-jelas kalah dalam pemilu dan pilpres kemarin. Bisa-bisanya ia ikut berebut kursi menteri. Dengan dalih demi nusa dan bangsa pula. Pretttt.
Padahal, akibat dari tindakan Prabowo ini justru akan buruk bagi nusa dan bangsa. Jika sampai Gerindra dan Prabowo berkoalisi dengan pemerintah, maka pemerintahan mendatang tanpa penyeimbang. Oposisi mati. Itu buruk bagi demokrasi.
Di sisi lain, sikap Prabowo juga mengecewakan sebagian besar pendukungnya. Pantas saja, jika Rocky Gerung bertekad akan “road show” berkeliling Tanah Air untuk mengajak “kampret” –pendukung Prabowo-Sandi dalam pilpres kemarin– beroposisi pada Ketua Umum Gerindra itu.
Tokoh yang memopulerkan kata-kata ‘dungu” ini juga mengajak “cebong” –pendukung Jokowi-Makruf Amin—untuk menolak masuknya Prabowo ke dalam barisan pendukung pemerintah. “ Nggak butuh tokoh seperti dia, nyampah-nyampahin negeri aja,” tandasnya.
Merapatnya Prabowo ke Jokowi mengundang banjir cemoohan dari pendukungnya. Prabowo bilang rekonsiliasi demi bangsa dan negara. Agar bangsa ini tidak lagi terbelah. Dia beranggapan bermesraan dengan penguasa, serta merta para pendukungnya bakal ikutan mesra.
Seorang pensiunan wartawan, Balya Nur menulis, Prabowo terlalu pede. Percaya diri. Dia mengingatkan pendukung Jokowi dengan pendukung Prabowo sangat berbeda. Pendukung Jokowi adalah mereka yang habis-habis mendukung bekas Wali Kota Solo ini karena sosoknya. Pokoknya walau langit runtuh, Jokowi harga mati.
Lain lagi dengan pendukung Prabowo. Mereka mendukung Ketua Umum Gerindra ini karena nilai. Bukan sosoknya. Kini, Prabowo sudah membuang nilai itu, sehingga ia sudah meninggalkan pendukungnya. Cara yang ia tempuh pun sangat menyakitkan dan juga memalukan.
Prabowo lupa bahwa dirinya didukung oleh Ijtima Ulama. Ada nilai-nilai Islami pada nilai program pada capres Prabowo-Sandi, kala itu. Kini, para pendukung Prabowo yang didorong oleh nilai itu sudah membaca, Prabowo jauh dari nilai-nilai tersebut.
Selain membangun koalisi dengan pemerintah, Prabowo dan Gerindra sudah menunjukkan bahwa dirinya memang tidak pantas didukung umat Islam. Setidaknya ada dua parameter soal itu.
Pertama, Gerindra menunjuk Rahayu Saraswati Djojohadikusumo untuk tampil membaca doa di acara resmi sidang paripurna MPR. Rahayu adalah keponakan Prabowo. Dia perempuan, selain itu juga nonmuslim. Untung Ketua MPR Zulkifli Hasan mengambil alih dengan membaca doa pendek. Gerindra protes dan keluar ruang sidang. Mereka menuduh Zulkifli Hasan intoleran. Padahal, Ketua MPR itu telah menyelamatkan Gerindra. Kalau sampai terjadi Rahayu membaca doa, sudah pasti akan ramai di medsos.
Sejak zaman Bung Karno sampai zaman Jokowi, tidak ada pada acara resmi kenegaraan, pembacaan doa diserahkan kepada perempuan dan nonmuslim. Bahkan sejak zaman Soeharto pada masa dia tidak mesra dengan umat Islam juga tidak ada.
Sampai zaman Jokowi yang dituduh sebagai era liberal juga nggak ada. Bukan mereka nggak paham soal toleransi. Mereka paham soal kepatutan. Mereka tidak mau menyinggung perasaan mayoritas. Itu baru namanya toleransi.
Kedua, Gerindra berencana memperjuangkan RUU PKS atau Penghapusan Kekerasan Seksual. Itu bisa dicermati dari semangatnya Rahayu Saraswati memperjuangkan hal itu. Padahal para ulama yang tergabung dalam ijtima ulama menentang sebagian pasal pasal dari RUU PKS.
Dari dua parameter ini saja jelas bahwa Prabowo telah membuat para pendukungnya menyesal telah memperjuangkan dirinya waktu pilpres yang lalu. Lebih dari itu, eks pendukung Prabowo juga malu. Malu karena pilihannya dulu tidak punya malu.
Kembali ke soal rekonsiliasi. Prabowo menyebut bahwa langkah itu dilakukan agar tidak ada perpecahan anak bangsa hanyalah pemanis bibir saja. Sepanjang penguasa adil pada rakyatnya, rakyat tidak akan terbelah. Kalau rakyat merasa penguasa tidak adil, mereka tetap akan protes.
Apalagi jika buzzer pro penguasa terus saja memanas-manasi. Presiden terpilih adalah milik rakyat bukan hanya milik relawan. Selama masih ada relawan pro penguasa, selama itu pula rakyat tidak merasa memiliki presiden. Dan akan terus terbelah. Rakyat di satu sisi, buzzer pemerintah di sisi lain. (*)