GELORA.CO - Pelantikan Jokowi diiringi kekhawatiran sejumlah pihak akan timbulnya `Neo Orde Baru (Orba)`, namun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengatakan hal itu berlebihan dan tidak mungkin terjadi.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiatri mengatakan istilah Neo-Orba muncul sejak masa pemilu presiden 2019.
Pandangan itu, kata Aisah, timbul karena ada kemiripan karakter kebijakan pemerintahan saat ini dengan masa orde baru dan menguat setelah :
- terbentuknya undang-undang yang dinilai menguntungkan kalangan elite politik dan merugikan kepentingan publik secara luas, seperti UU KPK;
- adanya tindakan represif saat demonstrasi mahasiswa yang menimbulkan korban;
- kekhawatiran bahwa tidak ada kubu oposisi yang kuat dalam parlemen, sehingga pemerintahan bisa berjalan seperti saat orde baru.
Awal pekan ini, istilah Neo-Orba menjadi bahan perbincangan di media sosial menyusul kebijakan pemerintah melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengkritik pemerintah di ruang publik.
Namun, hal itu dibantah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Eva Sundari yang mengatakan kekhawatiran itu berlebihan dan tidak berdasar.
Eva Sundari yang mengatakan kekhawatiran terhadap timbulnya Neo-Orba berlebihan dan tidak berdasar. - Getty Images
"Kita bukan negara di zaman krisis di mana KKN-nya luar biasa. Wong presidennya baik gitu lho," ujar Eva.
"Masa mau `di-Suhartokan` oleh teman-teman?"
`Pembubaran HTI, UU KPK, hingga blokir internet`
Merujuk pada Indeks Demokrasi 2018 yang disusun The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi di Indonesia menurun jika dibandingkan tahun 2015.
- BBC
Indonesia disebut masuk dalam golongan `demokrasi cacat` (flawed democracy) dengan peringkat nomor 65, di bawah dua negara di Asia Tenggara, Malaysia dan Filipina.
Laporan itu mengatakan ketika memulai masa pemerintahannya Jokowi memiliki citra sebagai ` ‘man of the people’ atau pemimpin yang diharapkan masyarakat.
Namun, laporan itu menyebut, kinerja Jokowi "tidak mulus".
Setelah memenangkan Pilpres 2014, Jokowi dianggap sebagai `man of the people`. - Getty Images
Peneliti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Delia Wildianti mengatakan demokrasi Indonesia dianggap menurun karena banyak persoalan dalam kebebasan sipil.
Kebijakan yang cukup besar di periode Pertama Jokowi, kata Delia, adalah dikeluarkannya Perppu Ormas pada 2017, yang dijadikan dasar untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Perppu Ormas memperbolehkan pembubaran ormas dilakukan secara sepihak, tanpa melalui proses pengadilan.
Padahal, ujarnya, ada hak bagi ormas yang dituduh melakukan pelanggaran untuk mengajukan argumentasi melalui proses pengadilan.
"Ini salah satu kebijakan yang menjadi indikasi kemunduran demokrasi di periode pertama Jokowi," ujarnya.
Aktivis HTI melakukan aksi di Jakarta pada 2004 lalu. - AFP
Senada dengan Delia, dalam kajian berjudul , peneliti Australian National University, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner melihat langkah Jokowi membubarkan HTI sebagai upaya melawan "illiberalisme dengan illiberalisme".
Mereka menyebut dalam periode pertama, Jokowi kehilangan statusnya sebagai `pelindung demokrasi Indonesia`.
Menurut Aspinnal dan Mietzner, Jokowi terlihat tidak tertarik pada reformasi demokrasi dan memilih metode otoriter untuk mengalahkan lawannya, yang berafiliasi dengan sejumlah kelompok Islam. - Getty Images
Hal itu, kata Aspinnal dan Mietzner, dikarenakan Jokowi terlihat tidak tertarik pada reformasi demokrasi dan memilih metode otoriter untuk mengalahkan lawannya, yang berafiliasi dengan sejumlah kelompok Islam.
Kemunduran demokrasi juga dilihat dari pengesahan UU KPK, meski sejumlah pihak meyakini bahwa UU itu
Demo menolak RKUHP dan mendesak Perppu yang membatalkan UU KPK baru di Jakarta. - Getty Images
Kebijakan ini membuat gelombang demonstrasi mahasiswa di sejumlah daerah pada tanggal 24 September lalu.
Pada demo itu, mahasiswa juga menuntut penundaan pengesahan RKUHP, yang menurut beberapa peneliti hukum pidana, dapat membahayakan hak-hak sipil dan Hak Asasi Manusia.
Pemerintah dan DPR akhirnya memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP.
Pemerintah dan DPR telah memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP. - Getty Images
Namun, tuntutan mahasiswa mengenai UU KPK belum terkabul. Hingga kini, sejumlah kelompok masyarakat masih menuntut Jokowi untuk mengeluarkan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK.
Pengamat politik Delia Wildianti mengatakan selama 32 tahun mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya disebut terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
KPK, kata Delia, kemudian hadir membawa semangat anti korupsi, maka kinerja lembaga itu perlu didukung.
"Semangatnya bukan soal institusional KPK saja...tapi soal narasi anti korupsi yang harus ditanamkan," kata Delia.
Politisi PDI-P Eva Sundari mengatakan negara tidak akan tunduk pada tekanan demonstran. - Getty Images
Sementara itu, Politisi PDI-P Eva Sundari mengatakan negara tidak akan tunduk pada tekanan demonstran.
Saat ini, uji materi terhadap UU KPK sudah berjalan di Mahkamah Konstitusi, maka, kata Eva, jika presiden mengeluarkan perppu, akan terjadi pertentangan antara kedua lembaga negara.
"Tunggu dulu MK (keputusannya) isinya apa. Kalau nggak menggembirakan silakan itu disoal lagi UU-nya menjadi Perpu," ujar Eva.
Namun, menurut Delia Wildianti, penting bagi Jokowi mengeluarkan perppu karena itu akan menandakan keberpihakannya pada masyarakat dan mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Fenomena lain yang diperhatikan Delia adalah kebijakan pembatasan internet.
Di tahun ini, pemerintah sudah tiga kali melakukan pembatasan dan pelambatan internet dengan dalih membatasi penyebaran hoaks. - Getty Images
Di tahun ini, pemerintah sudah tiga kali melakukan pembatasan dan pelambatan internet dengan dalih membatasi penyebaran hoaks, yakni pada:
"Meskipun dilakukan untuk meredam konflik, kebijakan itu menjadi bumerang buat pemerintah," ujarnya.
Kebijakan itu, ujar Delia, membuat masyarakat khawatir tentang pembatasan kebebasan yang dapat dilakukan pemerintah.
`Tindakan represif aparat keamanan`
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan kekhawatiran soal Neo-Orba cukup beralasan.[vv]