GELORA.CO - Perkara suap proyek infra-struktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Maluku dan Maluku Utara tahun anggaran 2016 memasuki babak baru.
Mantan anggota Komisi Infrastruktur Dewan Perwakilan Rakyat yang dipidana menerima suap Rp 7 miliar, Musa Zainuddin, menawarkan diri menjadi justice collaborator ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Musa dihukum sembilan tahun dan kini meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.
Ia membeberkan dugaan keterlibatan peting-gi Partai Kebangkitan Bangsa dalam kasus tersebut.
Berikut ini petikan wawancara wartawan Tempo, Riky Ferdianto, dengan Musa beberapa waktu lalu.
Mengapa Anda mengajukan permohonan justice collaborator?
Terpidana kasus korupsi tidak lagi menge-nal hak remisi. Hukuman sembilan tahun yang dijatuhkan hakim kepada saya harus saya jalani penuh tanpa potongan masa tahanan. Bagi saya, itu tidak adil. Karena kasus itu tidak sepenuhnya muncul karena peran saya sendiri.
Siapa saja yang sebenarnya ikut terlibat?
Ada banyak nama dan peristiwa yang tidak terungkap di persidangan. Seperti salinan surat justice collaborator yang Anda perlihatkan kepada saya, di situ saya ungkap peran Sekretaris Fraksi PKB saat itu, Jazilul Fawaid. Dialah yang menerima uang paling besar. Dari total Rp 7 miliar, Rp 6 miliar saya berikan lewat dia.
Siapa lagi selain Jazilul?
Saya ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Fraksi atas instruksi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar melalui Ketua Fraksi PKB di DPR, Helmy Faishal. Dalam arahannya, Helmy menyatakan bahwa fraksi itu adalah perpanjangan tangan partai. Karena itu, saya diminta mengawal kebijakan partai dan mengamankan “jatah” ang-garan PKB.
Bagaimana keterkaitan Ketua Kelompok Fraksi dalam kasus suap ini?
Setelah menjadi ketua, saya diminta menghadap Jazilul Fawaid. Dalam pertemuan itu, Jazilul mengatakan Badan Ang-garan tengah membahas Dana Tambahan Optimalisasi untuk sejumlah proyek infra-struktur di sejumlah daerah. Lagi-lagi saya ditugasi mengamankan “jatah” PKB.
Hubungan Anda dengan pemberi suap?
Belakangan, saya diajak bertemu dengan pengusaha, Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir. Dia tertarik mengerjakan paket pekerjaan jalan di Maluku yang menjadi jatah PKB dan menjanjikan fee sebesar Rp 7 miliar. Paket itu memang “jatah” PKB setelah saya konfirmasi ke pejabat Kementerian PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).
Bagaimana uang itu Anda terima?
Uang diberikan melalui orang kepercayaan saya, Jailani dan Mutaqin. Sehari setelah menerima uang, saya mengontak Jazilul untuk mengambil uang tersebut. Hari itu juga dia mendatangi rumah saya di kompleks rumah dinas DPR. Dari total Rp 7 miliar, Rp 6 miliar saya serahkan kepada dia.
Kenapa Anda memberikan uang sebanyak itu kepada Jazilul?
Beberapa bulan sebelumnya dia sempat bilang PKB mesti punya kader yang bisa memimpin Jawa Timur. Kader yang sedang diusung saat itu adalah kerabat Muhaimin. Partai butuh logistik untuk pencalonan. Saya menangkap pesan pembicaraan itu agar saya ikut membantu.
Jadi uang itu untuk keperluan kampanye?
Saya tidak tahu persis penggunaan uang tersebut. Setelah uang saya serahkan kepada Jazilul, saya mengontak Helmy Faishal dan meminta kepadanya menyampaikan pesan kepada Muhaimin bahwa uang Rp 6 miliar sudah saya serahkan untuknya melalui Jazilul.
Kenapa Anda menutupi fakta itu sebelumnya?
Saat proses penyidikan, saya pernah didatangi dua petinggi PKB. Mereka menya-takan bakal memfasilitasi bantuan hukum. Tapi saya diminta melokalisasi kasus ini agar berhenti di diri saya sendiri dan tidak sampai menyeret petinggi partai.
Ada tekanan lain?
Setelah surat JC (justice collaborator) saya ajukan, seorang pengurus dan KH Abdul Gho-fur mendatangi saya di LP Sukamiskin. Keduanya mengaku diutus Muhaimin, Jazilul, dan Helmy, dan berpesan agar saya menghentikan surat permohonan justice collaborator.
Anda merasa dikecewakan teman-teman partai?
Saya bertindak bukan karena perasaan kecewa. Surat permohonan justice collaborator saya ajukan semata untuk meringankan masa hukuman dan uang pengganti. Kalau buat partai, apa pun saya lakukan. Duit pun saya kasih. Kalau bukan karena permintaan partai, yang saya kasih lewat Jazilul pasti tidak bakal sebanyak itu.
[Majalah Tempo]