GELORA.CO - Pasca pelantikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan mimpinya bisa membawa ekonomi Indonesia masuk ke jajaran lima besar dunia pada 2045. Sejumlah indikator pun dikemukakan dalam pidato awal Presiden setelah dilantik, antara lain PDB RI US$ 7 triliun di 2045, pendapatan masyarakat Rp 320 juta per kapita per tahun, dan tingkat kemiskinan mendekati 0%. Pidato yang menumbuhkan optimisme.
Memang sudah selayaknya Presiden mampu ‘membakar’ semangat dan optimisme bangsa di tengah turbulensi ekonomi global yang ibarat rollercoaster, tanpa terdeteksi mana turunan tajam ataupun tanjakan mendaki. “Target itu masuk akal dan sangat memungkinkan dicapai. Tapi itu tidak datang dengan mudah. Perlu kerja keras dan kerja cepat. Kerja produktif,” ucap Presiden Jokowi dalam pidato pasca pelantikan di Gedung MPR Jakarta, Minggu (20/10).
Terlebih lagi, lanjut dia, dalam perkembangan ekonomi dunia yang penuh risiko dan sangat dinamis. “Jangan sampai kita terjebak di rutinitas yang monoton. Perlu inovasi budaya,” ucapnya.
Risiko ekonomi global, itulah yang perlu digarisbawahi, sumber kecemasan tanpa bisa dikalkulasi kapan redanya atau sebaliknya justru makin memburuk. Hampir setahun terakhir, istilah perang dagang antara negara adidaya seperi Amerika Serikat, China, bahkan kini Eropa makin sering muncul dan menimbulkan risiko baru.
Realitas bahwa Hong Kong mulai terpapar resesi ekonomi, Singapura berada di tepi jurang resesi, dan kini ekonomi China melemah hingga terburuk dalam 28 tahun terakhir, tak bisa dielakkan. Ekonomi China hanya tumbuh 6% pada kuartal III 2019, terburuk dalam 28 tahun terakhir. Padahal pada 2018, ekonomi negeri Tirai Bambu itu mencapai 6,6%.
Berdasarkan laporan Bank Dunia bertajuk ‘Global Economic Risks and Implications for Indonesia’ pada September 2019 disebutkan pelemahan ekonomi China bisa menyeret penurunan ekonomi Indonesia. Setiap pelemahan ekonomi AS ataupun China sebesar 1%, maka ekonomi Indonesia berpotensi terimbas dengan pelemahan sebesar 0,3%. Meski perhitungan itu masih di atas kertas, potensi tersebut tidak bisa dianggap enteng.
Ancaman itu nyata di depan mata. Atau dengan kata lain, ekonomi negeri ini terancam terlempar di bawah 5%. Bahkan, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI di 2020 akan berada di 4,9% dan terus menurun hingga 4,6% di 2022.
Sejumlah indikator mikro ekonomi seperti penjualan semen, PMI (indeks manufaktur), pertumbuhan kredit, modal pertumbuhan negatif dan impor bahan mentah juga masih menunjukkan kemungkinan lebih besar akan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi RI pada semester II 2019. Hal ini sudah diwanti-wanti oleh beberapa ekonomi dan praktisi perbankan asing.
Akumulasi berbagai risiko negatif dari luar maupun dalam negeri sebenarnya bukan tanpa solusi. Masih ada peluang yang mampu menyelamatkan ekonomi negeri ini dari perlambatan yang makin buruk. Bahkan hal itu sudah disadari oleh Presiden Jokowi.
Jokowi menilai Indonesia saat ini tengah berada di puncak bonus demografi. “Ini tantangan besar, tapi juga sebuah kesempatan besar. Ini jadi masalah jika kita tidak mampu menyediakan kesempatan kerja yang memadai,” paparnya.
Kini bagaimana pemerintahan di bawah Presiden Jokowi dan KH Ma’ruf Amin mampu mengelola potensi puncak bonus demografi penduduk untuk menjadi kekuatan domestik yang bisa mengalahkan badai dari luar. Itu yang ditunggu publik saat ini. [ns]