Melantik Janji Politik Presiden

Melantik Janji Politik Presiden

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2019, Joko Widodo-Maruf Amin resmi dilantik pada 20 Oktober 2019. Yang paling menarik dari pelantikan tersebut adalah soal siapa saja menteri yang akan masuk dalam Kabinet Kerja Jilid II. Sebab, tersiar kabar bahwa kubu oposisi juga akan merapat. Jika ini terealisasi, maka koalisi kabinet Jokowi akan semakin gemuk. Seperti diketahui bahwa saat ini kabinet Jokowi sudah mencapai 60 persen.

Terlepas dari berbagai manuver partai politik, pelantikan pada Minggu kemarin mengindikasikan bahwa Jokowi tidak hanya dilantik sebagai Presiden periode kedua, namun juga pelantikan atas janji-janji politiknya semasa kampanye. Setumpuk persoalan bangsa yang ada saat ini, dan dikemas dalam janji-janji kampanye sebelum pemilihan, harus benar-benar direalisasikan. Periode kedua bukan lagi periode adaptasi. Jokowi harus berlari cepat merealisasikan segudang janji kampanyenya.

Terpilihnya kembali Jokowi sebagai presiden didampingi oleh Maruf Amin memberikan optimisme sekaligus kekhawatiran tersendiri bagi kita semua. Di satu sisi, kita perlu optimis karena kerja-kerja seperti pembangunan infrastruktur diprediksi akan berjalan sukses. Namun di sisi lagi, terpilihnya Jokowi memberi kekhawatiran atas rapuhnya perekonomian Indonesia.

Kita patut menggarisbawahi bahwa tim ekonomi Jokowi di periode pertama sangat lemah. Hal ini dapat diamati bagaimana tren impor masih mendominasi. Bahkan, kebutuhan mendasar publik seperti beras, gula, kedelai, dan bahkan garam masih bergantung dengan impor. Karenanya, menjadi sangat penting bagi Jokowi-Maruf Amin untuk menengok kembali situasi perekonomian kita di periode pertama.

Postur Kabinet

Diakui atau tidak, tentu Jokowi sudah memiliki main map yang siap untuk dilaksanakan, baik oleh Presiden maupun para pembantunya. Tantangan yang ada saat ini jauh lebih kompleks, mulai dari isu kemiskinan, pendidikan, radikalisme, kemiskinan, dan lain sejenisnya.

Ekspektasi publik terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi di periode kedua sangat tinggi. Karenanya, menjadi hal yang wajar setelah dilantik, Presiden Jokowi tancap gas dan benar-benar memenuhi janji kampanyenya, mulai dari kabinet yang meritokratis dan profesional.

Namun sebelum itu, yang paling menarik perhatian tentu saja postur kabinet yang akan diumumkan oleh Presiden Jokowi. Seperti diketahui, koalisi yang dibangun Jokowi hingga saat ini mencapai 60 persen. Jika mengamati perkembangan politik terkini, bukan tidak mungkin koalisi Jokowi akan bertambah.

Apalagi, elite politik seperti Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, dan Susilo bambang Yudhoyono intens melakukan komunikasi dan pertemuan politik di Istana. Bisa saja salah satu partai akan bergabung dengan gerbong koalisi.

Pertemuan tokoh politik tentu saja menguntungkan bagi Jokowi. Terlebih lagi bergabung dalam kabinet kerja. Secara politik, Jokowi akan disokong oleh kekuatan di parlemen. Selain itu, koalisi Jokowi juga akan diisi oleh tokoh politik yang berpengaruh.

Saat ini, tokoh politik yang berpengaruh dalam koalisi diasosiasikan dengan Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh. Jika Gerindra dan Demokrat bergabung, bisa dipastikan koalisi Jokowi akan diisi oleh empat tokoh politik yang berpengaruh. Itu artinya, dua tokoh yang dianggapnya sangat berpengaruh akan semakin cair.

Hanya saja, bergabungnya banyak partai ke koalisi pemerintahan akan mengurangi gereget oposisi. Bagaimana pun, pemerintahan harus diawasi dan dikontrol dengan baik. Di sinilah tugas oposisi dibutuhkan. Ketika oposisi sangat pincang, bisa dipastikan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan akan semakin susah. Pemerintah akan sewenang-wenang tanpa ada proses kontrol dan kritik dari oposisi. Inilah yang membuat kerugian dalam proses demokrasi.

Saat ini, pengumuman kabinet menjadi term yang paling seksi untuk didiskusikan. Terlebih lagi, presiden Jokowi acap kali mengumbar janji bahwa 55 persen kabinet profesional dan sisanya dari kalangan politik. Namun, kalangan profesional masih menjadi perdebatan sengit. Mengingat parpol juga mengklaim bahwa kader-kadernya juga bisa dikategorikan profesional. Artinya, kader parpol juga mengklaim bahwa kader parpol memiliki profesionalisme yang tinggi jika ditunjuk menjadi menteri.

Hanya saja, dalam konteks loyalitas, kalangan profesional non parpol hanya satu, yakni terhadap Presiden. Sedangkan dari parpol memiliki loyalitas ganda, yakni ke Presiden dan ke partai politik. Hal inilah yang membuat kalangan profesional seyogianya diprioritaskan bagi Presiden Jokowi.

Selain itu, Jokowi juga menyampaikan bahwa kabinet yang dibentuk akan diwakili oleh kalangan milenial. Secara harfiah, milenial berarti anak muda yang melek digital dan berusia diantara 30-35 tahun. Lalu, apakah kabinet Jokowi benar-benar diisi oleh anak muda?

Presiden Jokowi memang sangat membutuhkan kabinet berkarakter milenial. Sebab, era 4.0 membutuhkan kabinet yang cerdas dan melek digital. Kerja-kerja politik harus berkesinambungan dengan kebutuhan global. Oleh sebab itu, kabinet milenial menjadi keniscayaan. Tetapi, kabinet milenial tidak harus diasosiasikan dengan kalangan muda. Sebab yang dibutuhkan adalah kerja-kerja pemerintah berpihak kepada generasi milenial.

Akhirnya, pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Jokowi-Maruf Amin akan menjadi pintu masuk dalam merealisasikan seluruh janji pada masa kampanye. Kebijakan prioritas harus segera dieksekusi dengan baik. Pemilihan pembantu presiden juga harus meritokratis dan sesuai kebutuhan publik. Jika tidak, maka hanya akan menjadi beban bagi Jokowi-Maruf Amin dalam menjalankan roda pemerintahannya lima tahun ke depan.

Aminuddin Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi)
[dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita