GELORA.CO - Pasangan Joko Widodo-Maruf Amin mengalami kesalahan mendasar dalam mendiagnosa masalah yang dialami negeri. Pasalnya, radikalisme yang terus didengung-dengungkan pemerintah bukan masalah utama yang sedang dihadapi Indonesia.
“Problem pengambil keputusan, kebodohan dalam mendiagnosa keadaan, ketumpulan intervensi kebijakan, dan kelemahan implementasinya,” tegas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam akun Twitter pribadinya, Minggu (27/10).
Mantan wakil ketua DPR itu menegaskan bahwa masalah yang dialami Indonesia adalah masalah ekonomi, bukan radikalisme.
Fadli yang sedang berkunjung ke Aceh untuk melantik DPW dan DPD Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) kemudian bercerita tentang pengalamannya selama di provinsi paling barat Indonesia itu. Dia merasakan aliran listrik di Aceh yang padam berkali-kali.
“Bagaimana masuk Revolusi Industri 4.0? Urusan pokok sederhana seperti listrik saja masih seperti ini,” tanyanya.
Dia kembali menekankan bahwa radikalisme bukan ancaman negara. Sebab, pada dasarnya umat Islam yang menjadi tertuding atas isu tersebut adalah kelompok yang moderat.
“Jadi persoalan kita adalah ekonomi (daya beli, pekerjaan, kemiskinan, harga dan lain-lain). Bukan radikal-radikalan,” pungkasnya.
Pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun belakangan memang mentok di 5 persen. Bahkan diprediksi tahun ini Indonesia bakal nyungsep di angka 4 persen.
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, DR Rizal Ramli sudah lama memprediksi ekonomi Indonesia bakal stagnan. Dia menilai jurus monoton yang ditunjukkan Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak bakal ampuh mendongkrak ekonomi Indonesia. Sebab menteri berpredikat terbaik dunia itu hanya mengandalkan utang dan kebijakan austerity atau pengetatan anggaran tanpa ada terobosan-terobosan.
Prediksi RR terbukti bukan sembarangan. Pasalnya, baru empat hari dilantik menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju, Sri Mulyani telah mengumumkan rencana akan menerbitkan surat utang berdenominasi valuta asing atau global bond.
Langkah Sri Mulyani itu diambil karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mengalami defisit sementara kebutuhan negara membengkak.
Sri Mulyani menyatakan rencana penerbitan surat utang disebabkan oleh defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp 199,1 triliun atau 1,24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Agustus 2019.
Defisit tersebut berasal dari belanja negara sebesar Rp 2.461,1 triliun, sementara pendapatan hanya sebesar Rp 1.189,3 triliun. (Rmol)