GELORA.CO - Peta politik di Senayan berubah seiring dilantiknya anggota DPR periode 2019-2024. Kini kursi DPR didominasi koalisi pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lantas seperti apa relasi DPR dan Pemerintah selama lima tahun ke depan?
Proses pemilihan pimpinan DPR 2019-2024 relatif lancar jika dibandingkan periode 2014-2019. Lima tahun lalu, rapat paripurna pemilihan pimpinan DPR tidak berlangsung mulus.
Rapat dihujani interupsi. Bahkan partai pendukung pro-Jokowi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat walk out dari paripurna. Saat itu koalisi Jokowi hanya terdiri dari empat partai yaitu PDIP, PKB, Hanura dan NasDem.
Pimpinan DPR yang diusung Koalisi Merah Putih (KMP) atau koalisi pendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa kemudian disahkan. KMP juga optimistis bakal menjadi koalisi permanen di DPR.
Namun komitmen itu rupanya luntur. Satu persatu anggota KMP banting stir mendukung Jokowi.
Kini wajah parlemen semakin berubah. Perolehan suara setiap partai juga berbeda-beda.
PDIP jadi pemilik kursi paling dominan, dengan 128 kursi. Sementara PPP jadi partai pemilik kursi paling sedikit. Berikut komposisi detailnya:
PDIP: 128 kursi
Golkar: 85 kursi
Gerindra: 78 kursi
NasDem: 59 kursi
PKB: 58 kursi
Demokrat: 54 kursi
PKS: 50 kursi
PAN: 44 kursi
PPP: 19 kursi
Koalisi pendukung Jokowi, yang terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP memiliki 349 kursi atau 60 persen kursi DPR. Sementara gabungan kursi 4 partai lainnya hanya berjumlah 226 kursi atau 40 persen kursi DPR.
Terkait hal itu, pengamat politik Hendri Satrio menilai peran DPR ke depan seharusnya tak hanya menjadi lembaga stempel. Meskipun kursi DPR saat ini didominasi oleh partai pendukung Jokowi.
"Kalau program pemerintah bagus, baik, memang seharusnya DPR mendukung itu contohnya misalnya pemindahan ibu kota, kalau DPR merasa pemindahan ibu kota itu baik ya sebaiknya memang mendukung, tentang pemilihan presiden, mungkin ada baiknya threshold di 0 persen kan, memang itu tukang stempel ini tidak kita harapkan," kata Hendri kepada wartawan, Selasa (1/10/2019) malam.
Hendri berharap masukan kritis tetap disuarakan anggota DPR kepada pemerintah. Nyanyian lagu setuju diminta tak terlalu sering terdengar dari Senayan.
"Seperti yang kita tahu DPR sebelumnya banyak sekali konflik, ada perseteruan Koalisi Indonesia Hebat dengan Merah Putih misalnya kemudian sampai ada pergantian Ketua DPR empat kali, dari Setnov, Akom, Setnov lagi kemudian Bamsoet, kalau sekarang kelihatannya nggak terjadi, makanya dengan polemik yang lebih rendah dari situasi DPR 2014-2019 harusnya banyak produk UU yang dihasilkan, lebih banyak masukan kritis kepada pemerintah dan juga lebih banyak hadir di DPR, tingkat kehadirannya lebih tinggi dan tidak ada lagi anggota DPR yang tertangkap KPK," beber dia.
Pendapat lain disampaikan Peneliti Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Nanang Suryana. Nanang memandang wajar presiden memiliki pengaruh yang kuat dalam sistem presidensialisme.
"Dalam desain presidensialisme, presiden sudah seharusnya memiliki pengaruh yang kuat dalam menjalankan roda pemerintahan. Terlebih, posisi presiden bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Adanya kesan legislatif heavy yang melekat selama ini, seharusnya perlahan kembali pada khitah proporsionalnya. Sehingga, palagan politik di DPR tidak mendominasi terlebih mengganggu jalannya roda pemerintahan oleh eksekutif," ujar Nanang secara terpisah.
"Prinsip check and balances diantara kamar eksekutif dan legislatif sewajarnya dimaknai dalam kerangka sistem presidensialisme. Prinsip itu sudah melekat pada fungsi pengawasan DPR. Sehingga, baik secara politik maupun kewenangan, DPR sudah dilengkapi dengan perangkat tersebut," sambung dia.
Di sisi lain, Nanang berpendapat kekuatan politik di parlemen seharusnya menjadi keuntungan Jokowi dalam menjalankan program di periode kedua pemerintahannya.
"Bertolak pada peta koalisi di DPR periode 2019-2024, kondisi ini merupakan bekal yang sangat baik bagi kepemimpinan Priden Joko Widodo pada periode ke dua. Presiden bisa berfokus mengejar target-target pembangunan, terlebih di periode ke-2, pembangunan sumber daya manusia Indonesia menjadi prioritas," ujar dia.
Terlepas dari itu, Nanang menilai kritik tetap diperlukan dalam sistem demokrasi. Jika memang suara kritis itu tak datang dari DPR, Nanang berharap masyarakat turut andil mengkoreksi jalannya pemerintahan.
"Dalam konteks ini, jika secara politik, keberimbangan sistem di antara dua kamar kekuasaan tersebut sudah menemukan titik temunya, peran civil society sangat dibutuhkan sebagai bagian dari kontrol warga sebagai pemilik kedaulatan," imbuh dia.[dtk]