GELORA.CO - Audisi menteri kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin hampir rampung. Hingga Selasa sore, 21 Oktober 2019, setidaknya sudah 88% kursi kabinet terisi. Sebanyak 32 orang telah dipanggil Jokowi ke Istana. Komposisinya sejauh ini, calon menteri berlatar belakang profesional berjumlah 15 orang, sementara politikus 14 orang.
Mereka yang dari luar partai antara lain, Mahfud MD (akademisi), Nadiem Makarim (pengusaha digital), Wishnutama (pekerja media), Erick Thohir (pengusaha), Tito Karnavian (Kapolri), Pratikno (akademisi), Nico Harjanto (surveyor), Sri Mulyani (ekonom), Basuki Hadimuljono (birokrat), Fachrul Razi (TNI), Bahlil Lahadalia (pengusaha), Budi Karya (birokrat), Bambang Brodjonegoro (ekonom), Sofyan Djalil (ekonom), Moeldoko (TNI)
Sementara dari kalangan partai ada Airlangga Hartarto (Golkar), Prabowo Subianto (Gerindra),Edhy Prabowo (Gerindra), Syahrul Yasin Limpo (NasDem), Agus Gumiwang (Golkar), Juliari Batubara (PDIP), Siti Nurbaya Bakar (NasDem), Suharso Monoarfa (PPP), Ida Fauziyah (PKB), Zainudin Amali (Golkar), Abdul Halim Iskandar (PKB), Yasonna Laoly (PDIP), Tjahjo Kumolo (PDIP), Johnny G Plate (NasDem).
Dari daftar utusan partai yang dipanggil Jokowi tampaknya tidak ada utusan dari Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), mau pun Partai Keadilan Sejahtera (PKS)."Yang kami dengar langsung dari Pak Jokowi, memang hanya Gerindra yang masuk. Selebihnya tidak ada partai lain dari kubu 02 yang masuk," ujar Budi Ari Setiadi ketua umum relawan Pro Jokowi kepada detikcom.
Selain Gerindra yang menjadi lawan utama partai koalisi pendukung Jokowi, beberapa partai lain, seperti Demokrat, PKS, dan PAN dikabarkan berupaya merapat. Namun keinginan mereka bertepuk sebelah tangan. Jokowi lebih memilih Gerindra dibanding tiga partai tersebut.
Informasi tersebut salah satunya dilontarkan Fahri Hamzah, mantan Ketua DPR RI yang kini aktif di Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi). "Saya dengar ada partai yang mau masuk tapi ditolak, partai apakah itu?" Demikian cuitan Fahri yang diunggah satu hari lalu. Sayangnya Fahri tidak menyebut siapa partai yang dimaksud.
Fahri juga menuliskan cuitan, "Sekitar 4 tahun lalu ada partai mendekati presiden untuk masuk kabinet, lalu menganggap presiden mensyaratkan penyingkiran orang kritis. Jadilah aku korban, dipecat tanpa dasar."
Berdasarkan informasi yang beredar, partai yang coba merapat namun ditolak adalah PKS. Namun politisi PKS Mardani Ali Sera saat dikonfirmasi detikcom menampik kabar partainya berupaya masuk ke barisan Jokowi.
"PKS Istiqomah di #KamiOposisi," ujar Mardani yang juga Ketua DPP PKS lewat pesan WhatsSApp.
Sedangkan Demokrat dan PAN yang sejak jauh-jauh hari mulai mendekat ke Jokowi masih berupaya menunggu jawaban. Sekali pun sampai saat ini belum ada titik terang apakah mereka bakal dirangkul atau tidak.
"Ini kan kegiatan Presiden, saatnya sebagai rakyat menonton. Karena kegiatan ini belum berakhir, kami menunggu saja," kata Wasekjen Demokrat Andi Arief saat dikonfirmasi. Andi Arief juga menegaskan Demokrat tetap akan mendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf meski nantinya tidak mendapat posisi menteri.
"Posisi Demokrat itu jelas. Pertama, mendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf meski tak dapat posisi menteri. Kedua, percaya dan hormat dengan menteri pilihan Pak Jokowi. Karena posisi itu, semua kader Demokrat melaksanakan aktivitas biasa sambil menghormati proses yang berlangsung," kata Andi Arief.
Sementara itu, PAN mengaku hingga saat ini tidak menerima panggilan dari Jokowi. "Nggak ada (dipanggil Jokowi). Tapi kita sekali lagi itu hak prerogatif Pak Jokowi lah. Kita tidak juga mengajukan nama, tidak lobi-lobi khusus, tidak," kata Ketua DPP PAN Yandri Susanto kepada wartawandi gedung DPR, Selasa, 22 Oktober 2019.
Jika tidak ada menteri yang berasal dari PAN, kata Yandri, secara otomatis partainya akan menjadi kontrol pemerintah. Karena tak ada calon menteri, Yandri menyatakan otomatis PAN akan berada di luar pemerintahan.
"Ya otomatis kalau misalkan nggak ada menteri, atau setingkat menteri, itu otomatis di luar pemerintah. Apakah kami bekerja sama dengan Pak Jokowi? Iya, bekerja sama, bisa. Program-program Pak Jokowi yang bagus wajib kami dukung," ujar Yandri.
Mengenai sikap Jokowi yang lebih memilih Gerindra mantan lawan untuk jalan bareng di periode ke dua dibanding Demokrat, PKS, dan PAN, analis politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan Jokowi hanya ingin rekonsiliasi terbatas.
Dengan kata lain, ujar Prayitno, Jokowi menganggap rekonsiliasi hanya sebatas dengan Gerindra dan Prabowo. Akibatnya Demokrat, PKS, dan PAN tak perlu diajak dalam "kolam" koalisi pemerintah yang ruangnya relatif kecil.
"Ini seakan-akan konflik politik selesai dengan menggandeng Gerindra. Ini namanya rekonsiliasi tebang pilih. Padahal kalau mau serius rekonsiliasi kebangsaan semua parpol pendukung prabowo mestinya diakomodir," jelas Prayitno.
Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Istana (Biro Pers Setpres) |
Kesan yang kedua, lanjut Prayitno, parpol pendukung Jokowi sedang mencari teman baru untuk mengantisipasi terjadinya gejolak internal yang liar dan tidak kondusif.
"Suka tak suka, friksi internal koalisi Jokowi sudah terbaca dengan munculnya 'mazhab Teuku Umar' dengan 'mazhab Gondangdia'. Kehadiran Gerindra menjadi signifikan dalam konteks menjaga keseimbangan politik karena suara Gerindra signifikan," terang Prayitno.
Adi juga menilai sepertinya pemerintah sedang mencari tambahan legitimasi baru dari oposisi di tengah merosotnya kepercayaan publik efek kebijakan tak populis seperti revisi UU KPK dan RUU KUHP.[dtk]