Oleh : Dahlan Iskan
Di mana pun saya berada selalu ada yang bertanya soal penyembuhan kanker.
Khususnya kanker hati. Saya dianggap yang punya pengalaman langsung. Kemarin, saya harus menjawab banyak pertanyaan seorang wanita yang suaminya terkena kanker hati.
Saya pun harus mengikuti perkembangan teknologi penyembuhan kanker. Bertanya pada dokter ahli bidang itu. Biar pun bukan untuk saya sendiri.
Juga harus mengikuti jurnal-jurnal kedokteran. Yang kadang bahasanya begitu tinggi –sulit saya mengerti.
Dari semua itu saya tahu: Carbon Ion. Bahan itulah yang sudah terbukti ampuh untuk memerangi kanker. Itulah andalan penyembuhan kanker di mana-mana. Sekarang ini.
Jerman yang lebih dulu. Sejak 10 tahun lalu. Negara lain menyusul belakangan.
Persoalannya: peralatan untuk menembakkan carbon ion itu mahal sekali. Bikinan Jerman. Harganya di atas Rp 500 miliar.
Tidak banyak rumah sakit yang mampu membeli. Pun di negara kaya.
Rasanya baru 20-an pusat kanker yang memilikinya. Di antaranya Jerman, Amerika, Jepang, Tiongkok, Perancis, Korsel.
Rumah sakit universitas di Kota Heidelberg yang memulai di Jerman. Orang pun berbondong ke sana.
Mesin itu sebenarnya ‘hanya’ semacam alat transportasi. Tapi barang yang harus diangkut tidak terlihat mata. Anda sudah tahu bahwa kita tidak bisa melihat atom. Padahal carbon ion ini lebih kecil dari atom.
Saya pun menyerah. Misalkan diberi uang Rp 100 miliar. Tapi harus bisa mengirim barang sekecil itu.
Apalagi alamat yang harus menerima kiriman itu sulit dicari. Bukan di gang 5 seperti lagu dangdut itu.
Carbon ion tersebut harus diangkut dan harus bisa sampai ke kanker di dalam tubuh. Bahkan lokasinya harus tepat: harus benar-benar sampai di bagian DNA sel kanker itu.
Itu pun tidak cukup. Proses pengiriman itu harus sangat cepat. Agar bahan atom itu tidak meledak di tengah jalan.
‘Di tengah jalan’ itu berarti di antara kulit tubuh ke lokasi kanker. Jaraknya mungkin hanya 10 cm. Atau sekitar itu. Tergantung dari bagian mana carbon ion itu dimasukkan tubuh dan di mana lokasi kankernya.
Bisa di liver, paru, prostat, usus dan seterusnya.
Kecepatan kirim itu harus begitu cepatnya sehingga ukurannya bukan lagi detik/km. Pakai ukuran kecepatan suara pun tidak cukup.
Ukuran kecepatan kirim carbon ion itu harus ‘kecepatan cahaya’. Memang tidak akan bisa secepat cahaya. Tapi 50 persennya pun sudah lebih cepat dari suara.
Kecepatan tinggi itu dimaksudkan agar ketika carbon ion itu meledak yang hancur adalah DNA sel kankernya. Bukan sel-sel tubuh di sekitar kanker.
Itulah bagian tersulit menyembuhkan kanker: bagaimana sang obat bisa mematikan sel kanker. Bukan justru mematikan sel-sel tubuh yang sehat di sekitarnya.
Mahalnya alat transportasi carbon ion itu terbawa sampai ke biaya pengobatan. Tentu. Hari ini penderita kanker yang ingin sembuh lewat cara itu harus membayar –tidak perlu diingat angka ini– Rp 800 juta.
Sekitar itu. Tergantung kondisi pasien –maksud saya kondisi sakitnya. Juga seberapa banyak kankernya.
Tentu kelak biaya itu akan turun. Bila sudah ditemukan cara baru. Atau pesaing baru.
Begitu lama saya tunggu perkembangan baru di bidang ini.
Akhirnya kabar baru itu datang. Tiga hari lalu
Dari mana lagi kalau bukan –mungkin Anda capek mendengarkan ini– Tiongkok.
Mesin sejenis itu sudah bisa dibuat di sana. Dengan harga separonya.
Hari-hari ini mesin pertama made in China itu lagi dipasang.
Produksi pertama dicoba dulu di rumah sakit universitas di Provinsi Gansu. Dua jam penerbangan dari Beijing. Ke arah barat. Ke arah Provinsi Xinjiang.
Kenapa di rumah sakit yang begitu pelosok?
Itu agar dekat dengan Lembaga Riset dan Ilmu Pengetahuan Tiongkok cabang Gansu. Yang mendapat tugas negara untuk mendalami bidang terapi kanker.
Pemasangan alat itu memerlukan waktu 6 bulan. Akhir tahun depan baru bisa dipakai menangani pasien kanker. Di bawah monitoring lembaga riset tersebut.
Kecepatan pengiriman carbon ionnya juga sama dengan yang buatan Jerman: 70 persen kecepatan cahaya.
Harga mesinnya belum tahu. Yang pasti akan lebih murah. Dengan jumlah produksi pasti akan lebih besar. Di Tiongkok penderita kankernya 4 juta orang. Tiga juta di antaranya tidak bisa disembuhkan.
Kita ikut saja. Kalau bisa lebih cepat.[psid]