GELORA.CO - Presiden Joko Widodo dinilai tidak serius dalam upaya pembangunan kekuatan dan pengembangan kemampuan pertahanan yang dimiliki TNI. Kebijakan yang dikeluarkan Jokowi seperti tak memiliki landasan strategis.
Pengamat Militer dari Insitute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, ada dua poin yang disampaikan Presiden Jokowi pada HUT TNI kemarin. Yakni soal profesionalitas TNI dan dukungan kepada kemandirian industri pertahanan.
"Saya mengapresiasi komitmen tersebut. Sayang jabarannya justru tak menggambarkan komitmen tersebut," ucap Khairul Fahmi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (8/10).
Misalnya, kata Khairul, soal penambahan ratusan posisi baru. Seharusnya, pengelolaan dan pengembangan organisasi TNI didasarkan kepada dinamika potensi ancaman. Bukan mengikuti pertumbuhan personel.
Apalagi, reorganisasi yang ditandai dengan perampingan besar-besaran di tubuh TNI pernah dilakukan di masa Panglima LB Moerdani. Alasan saat itu adalah agar organisasi TNI lebih efisien.
Setelah itu hingga masa reformasi, memang ada pembukaan pos-pos baru dan pengaktifan kembali satuan-satuan lama yang sempat dinonaktifkan.
"Tapi semuanya didasarkan pada kebutuhan organisasi dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Nah pengembangan organisasi belakangan ini menurut saya kurang memperlihatkan landasan strategisnya. Bahkan justru lebih tampak seperti solusi instan dan taktis saja terkait persoalan 'inflasi' perwira maupun perimbangan 'kue' antara TNI, Polri, dan aparatur sipil," imbuhnya.
"Bahkan menurut saya, Jokowi justru tak menunjukkan perhatian yang lebih baik dalam pembangunan kekuatan dan pengembangan kemampuan pertahanan. Karena sebenarnya, kekuatan itu tak lebih dari angka-angka statistik di atas kertas, jika tak diimbangi oleh upaya pemeliharaan dan peningkatan kemampuan operasionalnya. Termasuk soal kesiapsiagaan kekuatan itu untuk dapat digelar kapanpun dan dalam durasi yang panjang sekalipun," paparnya.
Apalagi, kata Khairul, Menteri Pertahanan Ryamizard pun telah menyampaikan bahwa dalam situasi perang, kekuatan militer Indonesia diperkirakan hanya mampu bertahan dalam waktu tiga hari.
"Hal ini harus menjadi pertimbangan serius dalam penyusunan porsi belanja pertahanan kita. Jangan sampai kemudian alutsista mahal yang dibeli itu hanya menjadi pajangan dan gagah ketika tampil dalam event-event seremonial, namun penuh cerita sedih ketika menghadapi ancaman-ancaman yang nyata," tegasnya. [rmol]