Oleh: Ilham Bintang
SAYA intens mengukuti berita aksi unjuk rasa mahasiswa setelah pelajar STM ikut ambil bagian hari-hari ini. Ada warna baru. Beberapa poster mereka menggelitik. Mengundang senyum. Misalnya, “Mahasiswa Berorasi, Pelajar Yang Eksekusi.”
Saya mengikuti aksi unjuk rasa itu memang lebih banyak melalui siaran langsung televisi dari lokasi unjuk rasa di berbagai daerah di Tanah Air. Maklum sudah tua.
Satu-satunya aksi unjuk rasa yang saya ikuti langsung waktu di Banjarmasin, Kalimantan Selaran, Senin (24/9). Pas saya lagi di sana. Hari itu diantar Ketua PWI Kalsel, Zainal Hilmie, saya dan Ketua Umum Atal Depari melihat dari dekat aksi damai di kantor Gubernur Kalsel yang luas di Banjar Baru, Banjarmasin, Kalsel.
Demo diikuti sekitar 1.000 pelajar. Tertib. Dihadapi langsung oleh Gubernur Kalsel Sahbirin Noor. Mahasiswa menyampaikan aspirasinya, Paman Birin merespon. Dialog berlangsung hangat. Saya tidak melihat tidak terlalu banyak polisi dikerahkan menjaga aksi unjuk rasa siang itu.
Saya juga mengikuti laporan media-media online yang melaporkan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar memprotes sejumlah RUU. Termasuk Revisi UU KPK. Diselang-seling mengintip cuitan di media sosial twitter, komentar di Facebook, dan group-group WhatsApp.
Tampaknya kiprah pelajar STM itu memang mendapat apresiasi. Menyegarkan. Laiknya nonton bintang sepakbola sedang bertanding. Ada malah yang merespons penuh rasa takjub. Takjub melihat bocah yang terpanggil untuk mengekpresikan kegelisahannya pada urusan penyelenggaraan negara. Keterlibatan pelajar STM secara mencolok tampaknya memang baru pada aksi unjuk rasa di Jakarta.
Demo Legal
Sahabat saya Wina Armada, wartawan senior, Selasa (1/10) pagi menurunkan tulisan di akun FBnya. Judulnya “Tentang Demonstrasi dan Lain-Lain”
Begini dia membuka tulisannya.
“Demonstrasi atau unjuk rasa? Boleh! Bahkan dalam banyak kasus, harus!! Demonstrasi untuk menunjukan sikap kita. Demonstrasi untuk menuntut sesuatu.”
“Demonstrasi,” lanjut master hukum dari UI dan penulis buku hukum pers ini, “boleh untuk mengekspresikan kekecewaan kita. Demonstrasi untuk mendukung sesuatu. Semuanya boleh. Ini negera merdeka. Ini negara demokrasi. Seluruh rakyat bebas berdemonstrasi, asal sehari sebelumnya memberitahu”
Ingatan saya melayang pada tahun 1996. Pada ihwal pembahasan halalnya aksi unjuk rasa menurut konstitusi.
Waktu itu salah satu tokoh yang menyuarakan halalnya unjuk rasa itu adalah Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya. Saya masih bekerja sebagai redaktur di Harian Angkatan Bersenjata di masa itu. Pangdam bikin acara coffee morning. Kami sering diundang hadir dalam acara itu. Salah satu topik perbincangan yang menarik perhatian saya soal hak hukum berunjuk rasa.
Wiranto menerangkan menyuarakan pendapat umum di depan publik itu adalah hak asasi yang dilindungi konstitusi. Larangan demonstrasi selama ini, katanya, hanya bersandar pada aturan mengenai ketertiban umum. Dasar hukumnya lebih rendah dari konstitusi yang mengatur hak berunjuk rasa.
Masih segar dalam ingatan saya Wiranto menambahkan begini. Kita mesti atur bagaimana caranya hak unjuk rasa itu tidak hilang hanya karena aturan demi menjaga ketertiban umum.
Dia punya proposal awal yang hendak diusulkan kepada pemerintah. Dia menyebut Stadion Lebak Bulus sebagai lokasi berunjuk rasa. Masyarakat tinggal melaporkan kepada polisi jika hendak berunjuk rasa dengan mencantumkan hari, tanggal, jam, serta jumlah massa. Juga mencantumkan nama pejabat yang mau didemo.
“Nah! Kita tinggal bawa pejabatnya ke sana. Misalnya mau demo Menpen, yah kita bawa Pak Harmoko ke sana,” ujar Wiranto.
“Tapi jangan ditulis dulu yah. Soalnya saya belum melapor ke Pak Kumis,“ pinta Wiranto. Pak Kumis yang dimaksud adalah Faisal Tanjung, Panglima ABRI.
Wiranto mengakui pihaknya tergerak membebaskan aksi unjuk rasa di Tanah Air diilhami oleh pengalaman di London. Saat itu ia masih ajudan Presiden RI sewaktu mengikuti perjalanan Pak Harto ke sana.
Terinspirasi Demo di London
Sebelum Pak Harto tiba di London ia berkoordinasi dengan pihak KBRI di sana. Pihak KBRI menjelaskan mengenai rute perjalanan kunjungan Pak Harto di Inggris. Ada beberapa rute diubah mendadak karena bersamaan di kota London ada unjuk rasa berkekuatan 5.000 massa.
Diam-diam dia kagum pada penguasaan medan staf KBRI itu. Dia pun bertanya. Jawaban staf datanya diperoleh dari kantor pilisi. Itulah yang mengilhami Wiranto. Di London memang aksi unjuk rasa adalah hak warga. Tinggal lapor polisi rencana unjuk rasa, dan demonstran pun mendapatkan pengawalan. Beres.
Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya, namun setelah itu, khususnya di tahun 1997, aksi demo memang akhirnya marak. Aksi demo mula-mula hanya di halaman kampus. Namun, lama-lama keluar kampus. Dan, mencapai puncaknya pada unjuk rasa Mei 1998 yang melengserkan kekuasaan Pak Harto. Posisi Wiranto adalah Panglima ABRI ketika demo besar-besaran terjadi yang memicu aksi penjarahan massal.
Demonstrasi tak boleh dihalangi. Tidak boleh ditangkap. Tidak boleh dikriminalisasi, tulis Wina Armada anggota Dewan Pers dalam FBnya. Isi demonstrasi menurut konstitusi kita juga bebas mengecam eksekutif: dari presiden, menteri, dirjen sampai aparat sipil negeri manapun, boleh. Mengecam legislatif atawa parlemen, dari DPR Pusat sampai DPRD tingkat provinsi, kota-kabupaten boleh. Mengecam yudikatif dari pengadilan tingkat paling rendah sampai Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi, juga boleh.
Sebagai demonstran, mereka boleh bilang kepada pihak manapun: tidak berpihak kepada rakyat, lupa diri, tidak adil, tidak sensitif dan sebagainya, masih tetap boleh. Menuntut pihak manapun untuk sesuatu dari yang ringan-ringan saja sampai minta mundur, boleh. Boleh.
Yang tidak boleh kata Wina, ialah merusak. Apalagi menghancurkan dan menghilangkan barang-barang milik publik. Milik negara. Merusak fungsi-fungsi dan atawa fasilitas untuk publik. Milik negara. Milik rakyat. Untuk rakyat. Perbuatan tersebut bukan saja merupakan perbuatan kriminal, perbuatan pidana, tetapi juga sekaligus merugikan negara. Merugikan rakyat. Mensengsarakan Bagus.
Sayang Bung Wina tidak menyebut secara eksplisit bahwa sesuai konstitusi kita polisi sebenarnya wajib mengawal pengunjuk rasa ke tempat yang dituju dan melindungi sampai selesai pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya.
Menutup Seluruh Akses
Bersandar pada ketentuan itu maka kita bisa uji pada “pelayanan” polisi terhadap aksi unjuk rasa beberapa hari ini, terutama hari Senin (30/9) sore kemarin.
Polisi ternyata bertindak sebaliknya. Bukannya mengawal dan melindungi, justru menutup seluruh akses jalan ke gedung DPR-RI tempat yang dituju oleh demonstran. Massa massa mahasiswa dan pelajar dihempang sejauh 3 km dari TKP dari kiri kanan dan depan belakang.
Tentu mudah dibayangkan apa yang terjadi dengan penanganan seperti itu? Demonstran yang merasa haknya dirampas, melampiaskan kekesalannya dengan merusak fasilitas publik. Sampai tengah malam. Seketika lenyap permainan cantik bintang-bintang lapangan, anak-anak STM itu. Yang muncul permainan kasar dan anarkis. Merusak fasilitas publik.Tindakan itu jelas salah. Tapi siapa yang memberi peluang terbukanya aksi anarkis itu?
Polisi tidak salah jika bertindak refresif menghadapi suasana chaos yang merusak fasilitas publik. Jelas tindakan itu menjadi alasan pembenar bagi polisi bertindak refresif.
Akhirnya unjuk rasa menjadi chaos. Rugi semua pihak. Aspirasi tidak sampai. Polisi gagal menjalankan fungsi pengawalan dan edukasinya kepada masyarakat. Negara pun rugi karena tindakan refresif identik dengan bakar-bakar uang rakyat. Berapa uang terbakar dari aksi melepas tembakan gas airmata.
Padahal, sebenarnya, kalau saja polisi menyadari kewajiban mengawal demonstran ke TKP banyak risiko kerugian yang bisa dihindari. Massa pendemo pun bisa terkonsentrasi. Polisi konsentrasi juga menjaga mereka dengan hanya tinggal mengelilingi demonstran. Namun sayang polisi kemarin menghadapi demonstran laiknya perusuh.
Yang paling mengheranksn sikap Pak Wiranto berubah. Mengapa Menkopulhukan begitu membenci aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar hari-hari ini. Dengar saja narasi-narasi yang lebih mengesankan gugup merespons aksi unjuk rasa.
Seperti lupa dulu di masa kekuasaan Orde Baru yang demikian otoriter dia bisa melahirkan gagasan perlindungan terhadap aksi unjuk rasa. Apa yang terjadi pada Pak Wiranto, yang justru di era eformasi ini melihat demonstrasi seperti aksi perusuh. Padahal, demonstran dan perusuh, berbeda, Jenderal. []