GELORA.CO - Berlakunya UU KPK hasil revisi melukai perasaan rekan seperjuangan Yusuf Kardawi-Immawan Randi. Mereka menyebut UU KPK yang berlaku hari ini sama saja mengabaikan perjuangan dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) yang meninggal saat aksi menolak RUU KPK di Kendari pada 26 September lalu.
Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi Tenggara Marsono mengatakan, tidak diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menganulir UU KPK hasil revisi menunjukkan bahwa pemerintah tutup mata terhadap meninggalnya Yusuf-Randi. ”Pemerintah harus melihat, di Kendari ada korban,” ujarnya kemarin (16/10).
Yusuf-Randi diduga tewas akibat diterjang peluru aparat saat mengikuti aksi damai di DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) 26 September lalu. Hingga kemarin, pelaku pembunuhan dua mahasiswa itu belum terungkap. Perjuangan Yusuf-Randi sampai saat ini terus dikawal kelompok mahasiswa UHO, IMM, serta kelompok-kelompok lain. Selama ini Randi memang aktivis IMM.
Marsono menambahkan, kelompok pergerakan mahasiswa di Sultra sejauh ini tetap solid untuk menolak revisi UU KPK. Mereka juga akan terus mengawal penanganan kasus tewasnya Yusuf-Randi sampai pihak berwenang berhasil mengungkap aparat yang diduga menembak keduanya. ”Apa yang diperjuangkan Yusuf-Randi akan tetap kami kawal,” tegasnya.
Ketua BEM Teknik UHO La Ramli menyayangkan sikap pemerintah pusat yang tak kunjung mengambil tindakan tegas terhadap penembak Yusuf-Randi. Hal itu dibuktikan dengan penanganan kasus Yusuf-Randi yang terkesan diulur-ulur. ”RUU KPK itu kan tidak diterima oleh masyarakat Indonesia,” tegasnya.
Sejauh ini, hasil investigasi Kontras dan Jawa Pos menyebutkan, dua mahasiswa UHO tersebut diduga tewas tertembak oleh aparat kepolisian. Saat dimintai konfirmasi tentang hal tersebut, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menuturkan, kesimpulan semacam itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah. ”Pembuktian ilmiah agar tidak terbantahkan masih proses,” ungkapnya.
Nanti hasil uji laboratorium forensik dikaitkan dengan hasil otopsi terhadap jenazah dua mahasiswa tersebut. ”Barulah diketahui bagaimana kasus ini, siapa yang diduga menjadi pelaku penembakan,” tuturnya.
Bila Kontras hanya menyampaikan hasil dari saksi-saksi, tentu kurang kuat. Pembuktian ilmiah jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan pengakuan saksi. ”Seribu saksi pun, nilainya hanya satu. Makanya, jangan terburu-buru mengeluarkan dan membuat satu kesimpulan,” jelasnya.
Menurut dia, saksi hanya satu alat bukti. Masih ada alat bukti lain yang harus ditemukan. Misalnya, keterangan ahli. ”Yang pasti, alat bukti itu harus jelas dulu,” papar mantan Wakapolda Kalimantan Tengah tersebut.
Sementara itu, Kabidhumas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhart menjelaskan, enam anggota Polres Kendari yang diduga membawa senjata saat demonstrasi akan disidang disiplin hari ini (17/10). ”Sidang digelar di Bidpropam Polda Sultra,” terangnya.
Soroti Larangan Demo
Sementara itu, meski larangan demonstrasi menjelang pelantikan presiden telah dikeluarkan oleh aparat, tidak tertutup kemungkinan publik tetap melakukan aksi di titik selain gedung DPR. Jika demikian, Komnas HAM berharap kekerasan yang terjadi dalam beberapa demo belakangan tidak terulang.
Beberapa korban berjatuhan selama aksi massa di sejumlah daerah akhir September lalu. Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab menyatakan, saat ini instansinya masih melanjutkan pendalaman atas meninggalnya sejumlah pengunjuk rasa dari kalangan mahasiswa. ”Cukup sudah. Jangan ada lagi korban jatuh,” ungkap dia kemarin (16/10).
Kerusuhan yang terjadi, lanjut dia, tidak terlepas dari kegaduhan elite politik. Karena itu, Amiruddin berharap para elite tidak menambah kegaduhan politik yang bisa memancing keresahan masyarakat.
Kadiv Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri menyebutkan, demonstrasi saat pelantikan presiden boleh saja dilakukan. ”Karena di UU (Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Red) nggak ada soal pelarangan,” imbuhnya.
Sesuai ketentuan, lanjut Arif, pendemo hanya memberitahukan rencana aksi kepada aparat keamanan. Bukan meminta izin. ”Kalau memang polisi melarang, dasarnya apa?” kata dia. Apabila menjadi diskresi, polisi harus menjelaskan diskresi tersebut terkait apa. Bila perlu, diskresi itu diuji.
Arif menyampaikan, jika diskresi kepolisian didasarkan pada pelantikan presiden, seharusnya demonstrasi di luar Jakarta tetap diperbolehkan. Sebab, pelantikan dilaksanakan di Jakarta. ”Itu juga harus bisa dijelaskan alasan diskresinya kenapa. Apa karena pengamanan fokus ke pelantikan presiden?” imbuhnya.
Apalagi, selama ini demonstran yang berlatar belakang mahasiswa tidak pernah menuntut apa pun terkait dengan pelantikan presiden. Mereka turun ke jalan hanya untuk menyuarakan keresahan masyarakat. Sebab, DPR bersama pemerintah dinilai tidak mendengar aspirasi yang terkait dengan UU KPK dan UU kontroversial lain.
Mereka juga menuntut presiden menerbitkan perppu KPK. Namun, sampai kemarin belum ada tanda-tanda perppu tersebut bakal keluar. Menurut Arif, keluar atau tidaknya perppu bakal turut memengaruhi penilaian masyarakat kepada presiden.
Perppu merupakan salah satu kewenangan presiden yang mestinya bisa dikeluarkan tanpa mendengar bisikan dari mana pun. ”Jadi, sekaligus menunjukkan ketegasan presiden,” ujarnya. ”Biar kelihatan bahwa kita punya presiden yang tegas,” tambahnya. Dia pun mengerti, perppu hanya bisa keluar setelah UU KPK efektif mulai hari ini (17/10).
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menyampaikan, apabila presiden berniat mengeluarkan perppu, waktu yang tepat adalah saat UU itu efektif. ”Presiden keluarkan perppu tepat pada saat UU KPK revisi berlaku,” ujarnya.
Namun, jika perppu tidak kunjung dikeluarkan, dia memastikan bahwa perjuangan masyarakat sipil tidak akan surut. Sesuai prosedur, mereka akan menempuh jalur-jalur konstitusional untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. ”Ada upaya judicial review ke MK,” tegasnya.[jpc]