GELORA.CO - Niat partai Gerindra untuk bergabung dalam pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin diprediksi bakal mengecewakan mayoritas pemilihnya.
Tak hanya itu, manuver Gerindra itu diprediksi bakal membuat masyarakat kecewa bahwa partai politik tidak lebih hanya mengincar kekuasaan, bukan memperjuangkan janjinya kepada rakyat.
Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan, Prabowo harusnya menyadari di Pilpres 2019 lalu ada 68 juta pemilih yang berharap mantan Danjen Kopassus itu menjadi presiden. Angka itu sekurang-kurangnya tidak menyukai pemerintahan Jokowi selama periode pertama.
"Harusnya Gerindra jadi oposisi saja. Karena pendukungnya banyak yang menginginkan Gerindra berada di luar kekuasaan. Menjadi oposisi sama sama terhormatnya dengan berkuasa. Bahkan menjadi oposisi lebih terhormat. Karena bisa mengingatkan pemerintah ketika pemerintah salah jalan dan salah arah," ujar Ujang kepada wartawan, Sabtu (12/10/2019).
Oleh karena itu, Ujang menganggap ketua umum Partai Gerindra kurang etis bergabung bersama Jokowi di pemerintahan. Namun, Ujang menganggap dalam politik, manuver Prabowo itu hanya bagian dari mendapatkan kekuasaan.
"Jadi masuknya Gerindra ke koalisi Jokowi sebagai bagian dari ingin merapat atau mendapat bagian kekuasaan. Itulah politik, sifatnya cair, dinamis dan kompromistis. Dulu lawan, sekarang kawan. Begitu juga sebaliknya. Karena koalisi yang dibangun bukan berbasis dan berdasar ideologi, maka koalisi akan mudah pecah," jelasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menambahkan, idealnya negara membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh dalam mengawasi pemerintah.
Yang mengkhawatirkan apabila Gerindra dan Demokrat masuk dalam koalisi pemerintah, maka kontrol terhadap Jokowi-Ma'ruf berkurang sehingga kewenangan cenderung disalahgunakan.
"Kata Lord Acton, power tends to corrupt. Kekuasaan itu akan cenderung korup atau disalahgunakan. But absolute power, corrupt absolutely. Dan kekuasaan yang absolut kecenderungan penyalahgunaannya pun akan mutlak," pungkasnya. [sn]