GELORA.CO - Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan sejak awal, diketahui ada ketimpangan antara biaya pendapatan dan pengeluaran yang dibiayai oleh BPJS Kesehatan. Ia mengatakan opsi kenaikan iuran adalah pilihan terakhir sebab sebelumnya sejumlah pihak terlebih dahulu telah melakukan cara lain untuk memangkas defisit BPJS Kesehatan salah satunya dengan melakukan auditing.
Kementerian Keuangan bersama BPJS Kesehatan diketahui telah mengaudit seluruh rumah sakit, puskesmas, dan dokter praktek yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. "Setelah semua diaudit, ditemukanlah memang ada potensi fraud tapi tidak sampai 1 persen dari total spending kita," kata Fachmi saat dijumpai pada Senin (7/10/2019).
Meski terdapat potensi fraud, Fachmi menyebut persentasenya sangat kecil dan bukan menjadi penyebab terbesar BPJS Kesehatan defisit. Saat ini, BPJS Kesehatan memiliki 26 juta jiwa peserta yang bertambah tiap harinya.
Bertambahnya jumlah peserta sejalan dengan pertambahan pemasukan iuran namun pengeluaran juga ikut meningkat. Hal tersebut yang membuat pembiayaan BPJS Kesehatan kian besar.
"Kami mengambil kesimpulan bahwa masalah mendasar adalah memang iurannya belum sesuai dengan perhitungan aktuaria. Itu yang menjadi kesimpulan kita bersama dan tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan program ini selain menyesuaikan iuran," sebutnya.
Fachmi menuturkan jika ingin program JKN tetap berjalan, maka masyarakat tetap harus berpartisipasi dan bergotong royong. Meskipun ada kenaikan iuran, pemerintah tetap akan berkontribusi 80 persen sehingga menurutnya salah besar jika pemerintah dianggap membebani.
"Kita ingin program yang membatu masyarakat ini tetap berjalan. Karena kalau ini berhenti dan kita tidak punya jalan lain, pertama kita akan defisit 32 triliun. Kalau seperti ini ini, 5 tahun kemudian defisit 77 triliun, jadi cuma program berjalan atau berhenti," tutupnya.[dtk]