Deradikalisasi BUMN Dan Islam Kosmopolitan

Deradikalisasi BUMN Dan Islam Kosmopolitan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - SALAH satu isu krusial dalam pemerintahan Joko Widodo periode kedua adalah bagaimana mengatasi bibit-bibit radikalisme yang kini banyak bercokol di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Isu ini menjadi penting sekaligus genting karena menurut hasil penelitian Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) PBNU dan Rumah Kebangsaan, sebanyak 41 masjid dari 100 yang ada di lingkungan kementerian, lembaga dan BUMN, disusupi paham intoleran dan radikalisme.



Setidaknya terdapat tiga kategori intoleransi dan radikalisme di masjid lingkungan kementerian, lembaga dan BUMN tersebut. Kategori rendah yaitu sebatas khatib memaklumi ide radikalisme dan intoleransi. Kategori sedang yakni setuju dengan ide intoleransi, radikalisme, khilafah dan lain-lain. Kemudian kategori tinggi ialah khatib justru memprovokasi jamaah untuk intoleran.



Ironisnya, masjid BUMN paling banyak disusupi paham radikalisme dibandingkan di masjid kementerian dan lembaga negara. Masjid BUMN sebanyak 21 dari 37 masjid (56%) terindikasi disusupi paham radikal. Masjid kementerian dari 35 sebanyak 12 masjid (34%). Sementara dari 28 masjid di lembaga negara, 8 (30%) di antaranya disusupi paham radikal.



Bukan hanya itu, saat menyampaikan sambutan halalbihalal dengan keluarga besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI Cilangkap, 19 Juni 2019 lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga menghela napas sekaligus menyampaikan keprihatinan atas benih-benih radikalisme yang sudah tumbuh di lingkungan pemerintahan. Menurutnya, sebanyak 19,4 Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Begitu pula dengan pegawai BUMN, sekitar 19,1 persen tidak setuju dengan ideologi negara Pancasila.



Radikalisme dan Kelas Menengah Muslim



Secara sederhana, radikalisme dapat dimaknai sebagai suatu sikap yang mendambakan perubahan secara radikal-total dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan ataupun aksi-aksi ekstrem. Radikalisme memang bukanlah terorisme. Namun perlu dicatat, radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme, bahkan gerakan-gerakan politik terorganisir lainnya yang bisa merusak tatanan negara dan ideologi bangsa.



Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) misalnya membuat beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. Pertama, intoleran, yaitu tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua, fanatik, yakni selalu merasa benar sendiri alias menganggap orang lain salah. Ketiga, eksklusif, yakni membedakan diri dari umat Islam umumnya. Keempat, revolusioner, yakni cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan.



Celakanya, salah satu target dan sasaran strategis kelompok radikalis adalah para generasi muda dan kelas menengah muslim. Kelompok ektrimis menyadari problem psikologis generasi muda yang mengalami transisi krisis identitas. Mengutip Quintan Wiktorowicz dalam Radical Islam Rising: Muslim Extremism in the West (2005), kelompok muda dan kelas menengah muslim mudah disusupi paham radikalisme karena dalam kejiwaanya mengalami apa yang disebut sebagai cognitive opening (pembukaan kognitif).



Cognitive opening dapat dimaknai sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan hal-hal baru dan gagasan-gagasan baru yang sifatnya radikal. Karena tidak dibekali dengan pemahaman keagamaan yang kuat dan dalam, kelompok muda dan kelas menengah muslim tersebut gampang dipengaruhi. Apalagi kelompok muda haus akan perubahan. Mereka selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Situasi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikalis untuk masuk menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran (pembenaran), solusi dan strategi meraih perubahan, termasuk apa yang mereka tersebut sebagai “ruang hijrah”.



Tentu akan menjadi ancaman jika kelas menengah muslim tersebut hanyut dalam cognitive opening yang salah. Karena itu, upaya untuk melawan radikalisme harus dengan direct engagement dalam bentuk mengisi ruang spiritual dan ruang kognisi masyarakat kelas menengah muslim yang tengah berjuang menemukan identitas dan keselamatan (salvation). Keengganan kaum muslim moderat secara progresif masuk ke dalam dialektika ini turut memberikan kontribusi bagi diseminasi pemahaman agama yang dangkal.



Deradikalisasi BUMN



BUMN sebagai kementerian yang mengkoordinir sekaligus mengatur perusahaan-perusahaan strategis milik negara, tidak bisa dilepaskan dari kelompok muda dan kelas menengah sebagai sumber penggeraknya. Sehingga wajar jika kemudian BUMN menjadi sasaran empuk bagi kaum radikalis untuk menancapkan misi terselubungnya.



Tentu situasi tersebut tak boleh terus berlarut. BUMN harus diselamatkan dari penyusupan paham intoleran dan radikalisme. Apalagi di periode kedua nanti, Presiden Jokowi didampingi oleh Wakil Presiden Prof. Dr (HC). KH Ma’ruf Amin. Menurut saya, penyelamatan BUMN dari kelompok radikalis tidak bisa dilakukan dengan hanya penegakan dan penindakan hukum (hard power). Akan tetapi justru yang paling penting menyentuh hulu persoalan dengan upaya pencegahan (soft power) dengan cara-cara persuasif dan dialogis. Ini adalah pendekatan paling holistik karena dari hulu sampai hilir.



Pendekatan kontra-radikalisme memang perlu dilakukan, namun pendekatan dialog (persuasif) dengan merangkul mereka sangat penting dilakukan. Sebab, persoalan radikalisme adalah masalah paham atau pemahaman. Masalah ini harus diselesaikan dengan pendekatan pemahaman pula. Menyentuh wilayah kognitifnya. Sehebat apapun cara-cara represif yang kita lakukan jika pemahaman (Islam) yang salah tersebut belum kita sentuh, upaya deradikalisasi sesungguhnya tidak akan pernah selesai. Apalagi kelompok radikal merupakan kelompok yang sempit dalam melihat Islam dan ajarannya. Mereka sangat tekstual dalam memahami ajaran agama (Islam).



Islam Kosmopolitan



Pemahaman Islam Kosmopolitan ala KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) perlu diangkat ke permukaan sebagai solusi atas pemahaman tentang Islam yang sempit tersebut. Islam Kosmopolitan adalah Islam yang lebih mementingkan pemahaman (around the text), bukan berhenti dalam teks (in the text). Artinya, Islam bukan sebatas teks namun juga berarti konteks.



Pemikiran Islam kosmopolitan ala Gus Dur lebih memberikan perhatian pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal dan menghindari simbolisme serta formalisasi Islam. Dengan bahasa lainnya, Islam itu rahmatan lil alamin. Dalam buku Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (2007), Gus Dur menggarisbawahi bahwa ada lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik pada perorangan maupun kelompok.



Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs). Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din). Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl). Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal). Kelima, keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk).



Artinya, gagasan Islam Kosmopolitan ala Gus Dur meneguhkan bahwa identitas umat Islam sejatinya tidak boleh dikotak-kotakkan ke dalam berbagai varian sosial dan politik yang bergerak di ruang yang sempit. Islam Kosmopolitan dibangun dalam prinsip dasar bahwa setiap individu harus dilihat sebagai manusia. Manusia adalah khalifah di muka bumi. Tuhan tidak melihat hambanya dari bentuk fisik, status sosial, etnis, suku, dan golongan.



Pemahaman seperti itulah yang perlu menjadi landasan dasar bagaimana melakukan deradikalisasi di lingkungan kementerian, lembaga, khususnya BUMN. Tentu dalam strateginya, kita perlu merangkul dan mengajak dialog para kelompok radikal, bukan memukul dan melakukan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Karena meminjam gagasan Islam Kosmopolitan ala Gus Dur, seburuk apapun manusia, dia tetaplah manusia yang perlu kita hormati sisi kemanusiannya sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga untuk merubah perilaku manusia, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kemanusiaan, bukan pendekatan yang lain.



Hery Haryanto Azumi



Penulis adalah Sekretaris Jenderal Majelis Dzikir Hubbul Wathon (rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita