GELORA.CO - Demonstrasi kembali terjadi di Jakarta, Senin (30/9/2019). Kali ini, demo dilakukan bertepatan dengan rapat paripurna terakhir DPR RI periode ini.
Mahasiswa bertemu untuk mengawal penolakan terhadap RKUHP dan UU KPK. Demo dilakukan untuk memberi tekanan psikologis ke pemerintah dan DPR agar segera membuat Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terutama untuk UU KPK.
Demo yang terjadi kemarin pun berakhir rusuh. Setidaknya ada 4 titik kerusuhan antara lain Jalan Tentara Pelajar, Jalan Gatot Subroto arah Slipi depan Gedung DPR, dekat kantor TVRI dan belakang BPK.
Demo yang terjadi beberapa hari terakhir, mengingatkan kita pada demo yang tengah terjadi di Hong Kong. Dari rangkuman, setidaknya ada dua hal yang membuat demonstrasi menjadi mirip, yakni berawal dari RUU dan diinisiasi oleh para pemuda milenial.
Di Hong Kong, demonstrasi yang terjadi dimulai dari adanya RUU Ekstradisi. RUU ini memungkinkan rakyat Hong Kong yang berbuat kriminal untuk diadili di China. Ini menyebabkan kemarahan pro demokrasi, karena dianggap akan menjadi cara China untuk mengekang kebebasan mereka berekspresi.
Demo Hong Kong juga dilakukan oleh anak muda. Setidaknya ada tiga milenial yang disebut-sebut menjadi pemimpin massa pro demokrasi di Hong Kong yakni Nathan Law, Joshua Wong dan Agnes Chow. Ketiganya masih berumur 22 tahun.
Meski pemerintah Hong Kong sudah membatalkan RUU Ekstradisi namun sayangnya demonstrasi terus terjadi hingga kini. Sebelumnya demo dimulai sejak Juni lalu.
Tiap akhir pekan demonstrasi berakhir rusuh. Kekerasan terjadi, para pendemo dan polisi saling lembar bom molotov, gas air mata dan water canon.
Sebuah survei bisnis menunjukkan, aktivitas sektor swasta Hong Kong pada Agustus anjlok akibat demonstrasi yang terus terjadi. Bahkan, penurunan terjadi sangat signifikan di Agustus ini, melemah selama 10 tahun terakhir.
Sebagaimana dipublikasikan IHS Markit, indeks manager pembelian (Purchasing Manager's Index/ PMI) Hong Kong merosot 40,8 pada Agustus, dari sebelumnya 43,8 pada Juli. Angka itu menandakan penurunan paling tajam di sektor swasta sejak Februari 2009.
"Data PMI terbaru mengungkapkan, bahwa ekonomi Hong Kong pada kuartal ketiga bermain-main dengan resesi," kata Bernard Aw, Ekonom Utama di IHS Markit, seperti dilansir dari CNBC Internasional.
"Karena aktivitas bisnis semakin diperburuk oleh kelumpuhan karena protes,".
Hong Kong berada di ambang resesi pertamanya selama satu dekade, faktornya karena ekonomi menyusut sebesar 0,4% pada April-Juni. Protes yang semakin meningkat mengurangi wisatawan dan memukul penjualan ritel di salah satu tujuan belanja paling populer di dunia.
Lalu, jika demonstrasi terus terjadi, apakah Indonesia akan seperti Hong Kong?
Menurut ekonom INDEF Bima Yudhistira, kekhawatiran ke arah sana pasti ada. Apalagi, polanya hampir sama dengan Hong Kong.
"Awalnya ada penolakan RUU tapi karena tidak cepat direspon pemerintah jadi merembet ke isu lainnya," jelasnya, Selasa (1/10/2019).
Ia mengatakan jika hal ini terjadi, dampaknya akan buruk bagi investor ke depan. Investor bisa menghindari pasar saham karena volatilitas yang tinggi dan ketidakpastian politik.
"Apalagi jika ada isu penggagalan pelantikan Jokowi atau pasca pelantikan demonya masih terus bergulir ya bisa jadi delegitimasi pemerintah," katanya.
Dunia usaha bisa terganggu, salah satunya logistik. Bisa juga menganggu ekspor impor.
Dampak lainnya adalah pariwisata. Mungkin akan ada travel warning dari banyak negara karena demonstrasi yang terus terjadi.
"Jadi kalau diakumulasi 1 bulan terakhir ini Rp 7,5 triliun dana asing sudah keluar per penutupan sore dalam bentuk net sales atau penjualan bersih asing," katanya. [cb]