GELORA.CO - Bank Dunia menyebut kondisi perekonomian Indonesia lebih mengkhawatirkan ketimbang negara Asia Tenggara lainnya. Dalam kaitannya dengan dampak perang dagang AS dan China.
Laporan Bank Dunia bertajuk "Risiko dan Implikasi Ekonomi Global untuk Indonesia", kabarnya cukup mengejutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tak main-main, Bank Dunia memberikan peringatan keras atas perekonomian Indonesia di masa depan. Dengan kata lain, Jokowi ketar-ketir juga.
Perang dagang China-AS, ekaslasinya terus meningkat. Dimulai dengan perang tairf dan berlanjut kepada relokasi usaha. Presiden Trump memerintahkan perusahaan-perusahaan AS keluar dari Cina.
Nah, relokasi industri AS dari Negeri Tirai Bambu, seharusnya menjadi berkah bagi Indonesia. Kenyataannya tidak begitu. Indonesia justru tidak menarik di mata investor asal Paman Sam.
Sekitar Mei 2019, pemerintah Indonesia memaparkan adanya rencana besar-besaran untuk membangun infrastruktur. Dana yang diperlukan sedikitnya mencapai US$400 miliar. Di dalamnya termasuk proyek pembangunan 25 bandara dan pembangkit listrik dan sara transportasi massal.
Akan tetapi, menurut laporan Bank Dunia, ada hambatan struktural yang menghalangi masuknya investasi asing, termasuk aturan arbitrer, pembatasan impor, dan banyak masalah lainnya. Indonesia juga diyakini bakal menghadapi masalah utang besar-besaran. Termasuk utang BUMN yang cukup jumbo, lantaran dikelola secara salah dan korup.
Nilai transaksi perdagangan Indonesia dengan negara-negara di dunia, mencapai US$33 miliar per tahun. Sementara investasi asing sebesar US$22 miliar, dengan defisit US$16 miliar. Artinya Indonesia membiayai defisitnya dengan masuknya modal dari investor portofolio.
Ketika pertumbuhan ekonomi glonal melambat maka sangat berdampak kepada Indonesia. Diprediksikan, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun karena lemahnya produktivitas dan perlambatan pertumbuhan tenaga kerja. Kondisinya diperparah dengan turunnya harga komoditas andalan ekspor Indonesia.
Sedangkan untuk investasi asing langsung (Foreign Direct Investmen/FDI), diperkirakan tidak akan mampir ke Indonesia.Pemodal lebih memilih negara non-tarif dengan aturan nan sederhana. Misalnya, pembatasan pekerja asing, kepastian hukum sektor bisnis, aturan pembatasan impor melalui kebijakan tarif jelas tidak menarik bagi investor.
Industri AS dan sejumlah negara besar, lebih memilih Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Taiwan untuk memindahkan bisnisnya, ketimbang ke Indonesia. Di mata pengusaha AS, memindahkan pabrik ke Indonesia lebih beresiko, rumit dan memakan waktu minimal setahun. '
Ternyata, tak hanya industri AS yang merelokasi pabriknya dari China. Industri asal Korea Selatan melakukan hal yang sama. Semisal, pabrik mesin cuci Korea Selatan pindah dari Cina ke Vietnam dan Thailand dalam 60 hari setelah AS memberlakukan kenaikan tarif.
Medio Juni hingga Agustus 2019, Bank Dunia mencatat, terdapat 33 perusahaan yang terdaftar di Cina mengumumkan rencana pendirian atau memperluas usahanya di luar negeri. Dan, 23 di antaranya memilih Vietnam, 10 sisanya tersebar ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand.
Pada 2017, sebanyak 73 perusahaan Jepang memindahkan operasi dari Jepang, Cina, dan Singapura ke Vietnam sebanyak 43 perusahaan, Thailand, 11 ke Filipina, dan hanya 10 ke Indonesia.
Mengingat masalah ini, jika terjadi penurunan yang serius, Indonesia menghadapi masalah besar. Kebijakan moneter global, laporan itu mencatat, "kehabisan amunisi - US$ 17 triliun dalam bentuk obligasi berada pada tingkat bunga negatif." Bukan tak mungkin, Indonesia menjadi negara yang perekonomiannya terbelaknang di level ASEAN. Wadug gawat, [nl]