GELORA.CO - ARTERIA Dahlan, seorang anggota DPR dari Fraksi PDIP tiba-tiba saja menjadi perbincangan publik khususnya warganet gara-gara penampilannya yang offensif dalam sebuah acara TV dan dianggap tak beradab oleh banyak kalangan.
Persepsi sebagian masyarakat yang menganggap Arteria Dahlan tidak bersikap sopan karena menyebut Prof. Emil Salim sesat dan memotong pembicaraan narasumber lain berulang kali. Barangkali memang benar bahwa Arteria di mata sebagian besar masyarakat tidak memiliki etiket yang bagus selama berdebat dalam acara televisi tersebut.
Terlepas dari kekurangannya saat menyampaikan pendapat di muka umum, ada yang menarik dari sosok Arteria sebagai seorang Anggota DPR. Khusus dalam bidangnya di Komisi III, Arteria menjadi orang yang sangat kritis, berbicara lugas, tegas dengan argumentasi yang relatif bagus. Dia menjadi sosok yang rajin hadir mengisi berbagai acara televisi mewakili Komisi III.
Salah satu isu yang sering diperbincangkan Arteria adalah tentang KPK. Mulai hak Angket KPK, revisi UU KPK sampai RKUHP yang sedikit banyak berhubungan dengan kewenangan KPK selalu ia hadiri untuk memberikan penjelasan, pernyataan dan sikap.
Anggota DPR seperti Arteria menjadi model baru seorang Anggota DPR setelah Fahri Hamzah yang berani tampil di hadapan Publik dengan gaya yang khas, berani melawan arus dan berbicara asertif dan frontal.
Karakter anggota DPR yang berani menyampaikan pendapat secara kontroversial seperti ini memang menjadi anomali karena kebanyakan seorang Anggota DPR memilih banyak diam dalam berbagai isu. Selogan yang kita kenal tentang Anggota DPR adalah “dateng, duduk, diam dan duit (4D).
Kehadiran Anggota DPR yang vokal dan berani tampil seperti Arteria jika dipandang dari aspek demokratisasi menjadi sangat bagus karena menghidupkan wacana, gagasan dan literasi yang bisa menjadi alat membangun public awareness melalui isu-isu yang ia kemukakan. Tak cuma bagus, boleh jadi keberadaan anggota DPR seperti dia sangat diperlukan.
Di luar penampilannya yang tampak seperti miskin akhlak, orang yang tak pernah mengenalnya secara langsung menganggap perilaku seperti itu sebagai karakter meskipun tak menutup kemungkinan ia hanya membangun persona untuk kebutuhan dan motif yang tak bisa kita ketahui.
Membandingkan anggota DPR yang berani tampil dengan perilaku anggota DPR yang cenderung diam, tiba pada sebuah penelaahan sederhana bahwa hampir seluruh anggota DPR yang tersandung perkara korupsi adalah mereka yang sehari-hari diam atau sesekali muncul ke hadapan publik dengan statement-statement yang normatif.
Kredibilitas atau kemampuan memahami isu dan persoalan pada bidang kerja di DPR memang menjadi faktor seorang anggota DPR menjadi vokal atau diam.
Parlemen yang secara etimologi Bahasa Perancis berasal dari kata Parler yang artinya berbicara, sudah seharusnya DPR menjadi tempat yang gaduh dengan narasi, perdebatan serta argumen karena berbicara memang menjadi tugas pokok mereka sebagai anggota Parlemen.
Arteria dengan kelebihan kemampuan berbicaranya, sebaiknya memang bisa menempatkan diri dalam bertutur kata saat menyampaikan penjelasan. Dia harus membedakan sikap dan tutur katanya ketika ia berhadapan dengan masyarakat sebagai pihak paling penting dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat.
Cara berbicara dan merespon perbedaan pendapat harus diperbaiki menjadi lebih ramah terutama ketika yang ia hadapi adalah rakyat yang telah menempatkannya di ruang Capitol.
Bagaimanapun argumen harus disampaikan dengan cara yang baik agar bisa diterima oleh pendengar secara substansial karena cara menentukan makna seperti Hukum Acara yang diatur tertata supaya tujuan tercapai dengan baik.
Sekarang semua orang tidak ada yang mendengar substansi pembicaraannya karena kita lebih suka merespon cara bicara dan perilaku yang dipandang buruk oleh khalayak.
Jika Arteria benar-benar bermaksud membangun diskursus mengenai sebuah gagasan, maka mengubah gaya bicara menjadi lebih layak didengar adalah suatu keniscayaan kecuali tujuan dia hanya ingin menjadikannya kontroversi yang berisi percakapan publik tentang baik-buruk dirinya sebagai kasta terendah sebuah perdebatan.
Mau mengedukasi atau sekedar cari sensasi?
Oleh Enggal Pamukti
(Rmol)
Penulis adalah Pemerhati media sosial.