GELORA.CO - Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi sudah layak dilakukan. Sebab, UU KPK yang sudah berjalan memang tidak pernah ada perubahan dari sejak awal berdiri.
Jadi kalau konteksnya penguatan dan penertiban bisa dipahami adanya revisi dengan pertimbangan adanya perkara yang berlarut-larut sehingga perlu adanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3)," ujar pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, Senin (9/9).
Yang kedua, menurut Suparji, revisi UU KPK juga dimaksudkan untuk melindungi hak-hak asasi manusia, salah satunya untuk mencegah hal yang kontra produktif dalam hal penyadapan.
"Jadi perlu dilakukan penertiban, ada kecenderungan penyadapan dalam konteks penegakan hukum tapi ada hal yang tidak relevan misalnya tentang pribadi dan keluarga hal itu kan penyadapan yang kebablasan," jelasnya.
Ketiga, kata Suparji, juga perlu ada penegasan terkait eksistensi KPK sebagai sebuah lembaga.
"Konteks pemikiran KPK eksistensinya lembaga apa? Itu harus ada kejelasan secara konseptual harus ada. Apakah eksekutif, legislatif atau yudikatif. Dulu menjadi bagian alat presiden, tapi enggak mengira seperti ini. Menjadi lembaga superbody seperti ini. Sekarang ada kecenderungan mau kemana lembaga ini, harus jelas," ungkapnya.
Namun demikian, Suparji juga melihat dalam revisi UU KPK berpotensi untuk melemahkan, salah satunya adalah usulan adanya dewan pengawas yang ditunjuk oleh DPR.
"Kalau para pegiat anti korupsi merasa itu melemahkan ya seharusnya bisa terintegrasi untuk membahas. Daripada kita berteriak-teriak di luar dan mereka tetap jalan. Karena mereka punya hak untuk melakukan pembahasan itu," katanya.
Sejumlah poin krusial ada dalam draf revisi UU KPK antara lain, adanya keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK.
Juga kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, serta posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.(rmol)