GELORA.CO - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) belum maksimal. Walhi menilai pemerintah tidak menyelesaikan akar masalah dari karhutla.
"Cenderung pemerintah menghindar dari penyelesaian akar dari masalah. Selama ini cenderung kerja pemerintah itu follow the fire, di mana ada api itu yang direspons. Di regulasi sendiri, tahun 2015, tahun 2016 itu sudah ada peraturan pemerintah tentang perlindungan ekosistem gambut. Sayangnya perlindungan gambut itu sangat mengakomodir kepentingan penjahat lingkungan," kata Juru Kampanye Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Zenzi Suhadi, kepada wartawan, Minggu (22/9/2019).
Suhadi khawatir penegakan hukum kepada pelaku pembakaran hutan tidak tegas. Dia berkaca pada kasus karhutla 2015 yang penegakan hukumnya dinilai masih lemah.
"Yang kedua soal penegakan hukum ya. Kami mengkhawatirkan penegakan hukum baik Polri maupun KLHK sama dengan tahun 2015. Apinya padam, padam juga penegakan hukumnya," tuturnya.
Selain berdampak kepada manusia, Suhadi mengatakan ada dampak kepada ekosistem termasuk hewan. Dia khawatir adanya konflik antar satwa dan manusia, karena eksodus satwa tersebut ke pemukiman.
"Ketika terjadi kebakaran dan asap ini kita mengkhawatirkan akan muncul konflik satwa dan manusia ya karena ada satwa yang masuk ke pemukiman," jelasnya.
Lebih lanjut, Suhadi meminta agar penegakan hukum tidak hanya kepada pelaku pembakaran hutan. Namun dia meminta penerima keuntungan atas terbakarnya lahan juga diusut.
"Proses hukum ini harus menyasar dari penerima kehancuran lingkungan ini. Apa nama holding group harus dikejar. Siapa owner, penerima manfaat dari gup ini harus disasar. Konstitusi kita memungkinkan utnk mengejar sampai ke sana," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menambah penerapan pasal pidana bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla). Pasal pidana yang ditambahkan adalah pasal perampasan keuntungan.
"Jadi gini, pasal tambahan, tadikan ada pertanyaan bagaimana efek jera lebih keras lagi. Di mana di UU Lingkungan Hidup itu, pidana itu terkait dengan pidana kerusakan lingkungan hidup. Soal lingkungan hidup bisa kena penjara 12 tahun dan denda Rp 12 miliar," kata Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, di Gado-gado Boplo, Jalan Cikin Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9)
Menurut Rasio, penambahan pasal ini merupakan pengembangan dari pasal sebelumnya. Rasio menilai karhutla erat kaitannya dengan perampasan keuntungan.
"Namun kami melihat bahwa kami perlu mengembangkan pasal-pasal yang lain terhadap pasal 119 itu ada pidana tambahan. Salah satu pidana tambahan itu disamping hukuman pidana penjaranya tapi juga dapat digunakan perampasan keuntungan," ujar Rasio.[dtk]