GELORA.CO - Pengacara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Veronica Koman buka suara soal penetapan status tersangka provokasi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya oleh Polda Jawa Timur.
Menurut Veronica, status tersangka provokasi yang ditetapkan Polda Jawa Timur merupakan kriminalisasi dan intimidasi terhadapnya. Dia menyebut pemerintah pusat berserta aparaturnya tidak berkompeten dalam menyelesaikan konflik di Papua sehingga mencari-cari kambing hitam.
“Cara seperti ini sesungguhnya sedang memperdalam luka dan memperuncing konflik Papua,” tulis Veronica Koman di halaman Facebooknya, Sabtu (14/9/2019).
Veronica menilai pembunuhan karakter terhadapnya berimbas terhadap aksi yang digelar warga Papua. Dia menyebut aspirasi warga Papua terkesan diabaikan.
“Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada,” imbuhnya.
Selain itu, Veronica membantah tuduhan polisi yang menyebut dirinya tidak melaporkan pertanggungjawaban ihwal beasiswa S2 di luar negeri. Veronica mengatakan bahwa dirinya sudah melaporkan pertanggungjawaban beasiswa S2 yang didapat ke institusi pemberi beasiswa.
“Urusan itu telah selesai per 3 Juni 2019 ketika universitas tempat saya studi mengirimkan seluruh laporan studi saya kepada institusi beasiswa saya,” tegasnya.
Veronica kemudian mengklarifikasi tentang rekening yang diduga melakukan sejumlah transaksi mencurigakan. Dia menilai, transaksi dalam rekeningnya dinilai wajar sebagai pengacara.
“Saya menganggap pemeriksaan rekening pribadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan tuduhan pasal yang disangkakan ke saya sehingga ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang kepolisian, apalagi kemudian menyampaikannya ke media massa dengan narasi yang teramat berlebihan,” tuturnya.
Sebelumnya, Polda Jatim menetapkan Veronica sebagai tersangka kasus ujaran kebencian dan penyebaran berita hoaks, terkait insiden di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Jalan Kalasan Surabaya pada 17 Agustus 2019.
Polisi menyebut Veronica telah melakukan provokasi di media sosial twitter, yang ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris dan disebar ke dalam negeri maupun luar negeri, padahal dibuat tanpa fakta yang sebenarnya.
Akibat perbuatan yang dilakukannya, Veronica dijerat dengan pasal berlapis yakni UU ITE KUHP Pasal 160 KUHP, kemudian UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Suku, Etnis dan Ras.[ak]